Laman

Rabu, 19 Desember 2012

Ekonomi Syariah 2.0…

Setelah marxisme dan komunisme gagal, kapitalisme yang mendominasi ekonomi dunia juga nampaknya akan gagal. Krisis demi krisis di dunia barat dalam 4 tahun terakhir adalah tanda-tanda kegagalan itu. Namun karena umat ini belum siap menggantikannya maka penggantinya masih kapitalisme juga, kapitalisme jenis baru yang disebut Capitalism 4.0. Lantas kapan ekonomi Islam atau dikenal dengan Ekonomi Syariah akan menggantikannya ? Peluangnya ada di Ekonomi Syariah 2.0 !

Awal dari kapitalisme (Capitalism 1.0) adalah laissez-faire capitalism yang mulai ada sejak awal abad 19 sampai the Great Depression 1930-an. Ekonomi yang diserahkan ke pasar sepenuhnya membawa pada puncak kehancurannya dengan krisis terbesar sepanjang sejarah yang kemudian dikenal dengan the Great Depression.

Pasca krisis tersebut muncul ketidak percayaan terhadap pasar, maka pemerintah dunia mulai mengatur pasar khususnya pasar keuangan – sejak saat itulah dunia memasuki era Capitalism 2.0.

Periode ini berlangsung sampai tahun 1980-an ketika pasar mulai tidak mempercayai bahwa pemerintah-pemerintah dunia bisa mengaturnya. Sejak saat itu pasar didominasi bukan oleh sektor riil tetapi oleh industri keuangan dan modal – inilah Capitalism 3.0. Pasar yang nyaris tidak terkendalikan oleh pemerintahan dunia ini juga akhirnya membawa krisis financial global yang kini sudah berusia 4 tahun. Beberapa negara di Eropa bahkan belum sembuh dari krisis tersebut hingga kini.

Ketika sampai tiga model kapitalisme gagal, sebenarnya kesempatan itu datang kepada kita umat ini untuk memberi solusi. Ketika mereka merobohkan rumah-rumah mereka sendiri, tangan-tangan kaum mukminin ini yang mestinya muncul sebagaimana ayat berikut :

“… mereka memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang yang beriman. Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-orang yang mempunyai pandangan.” (QS 59:2)

Namun karena tangan-tangan kaum mukminin ini belum muncul, kalau toh sudah muncul masih terlalu lemah – maka kemudian untuk sementara yang akan muncul menggantikannya masih kapitalisme juga yaitu yang disebut Capitalism 4.0. Kapitalisme model baru ini melibatkan pemerintah dan institusi global tertentu yang dengan ketat mengendalikan pasar khususnya sektor keuangan dan modal.

Namun karena pemerintah-pemerintah dunia dan juga lembaga-lembaga keuangan global tersebut punya banyak kepentingan masing-masing, maka Capitalism 4.0 kemungkinan besarnya juga tidak akan berusia panjang melebihi usia kapitalisme sebelumnya.

Bila usia Capitalism 1.0 mencapai sekitar 130 tahun, Capitalism 2.0 sekitar 50 tahun, Capitalism 3.0 kurang dari 30 tahun – maka Capitalism 4.0 estimasi saya tidak akan melebihi 20 tahun. Artinya waktu kita tidak banyak untuk bisa menggantikan system ekonomi dunia yang gagal. Waktunya kita menggantikannya dengan system ekonomi yang berkeadilan – yang dibimbing oleh wahyu dan sunnah nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.

Apakah ekonomi syariah yang kita kenal seperti sekarang yang akan menggantikannya ? kemungkinan besarnya bukan yang seperti sekarang !

Yang sekarang ada di pasar Ekonomi Syariah adalah identik dengan bank syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah dlsb. saya sebut sebagai Ekonomi Syariah 1.0. Kita hargai upaya teman-teman yang sudah merintisnya sejak dua dasawarsa terakhir, namun ini terbukti belum cukup siap untuk menggantikan Capitalism 3.0 yang runtuh beberapa tahun terakhir.

Lantas seperti apa Ekonomi Syariah yang bisa menggantikan Capitalism 4.0 yang insyaallah juga akan runtuh kurang dari dua dekade yang akan datang ?, insyaAllah yang menggantikannya adalah Ekonomi Syariah 2.0 – yaitu jenis baru dari ekonomi syariah yang ditumbuh kembangkan dengan akar yang memang berasal dari Islam itu sendiri.

Lantas dimana perbedaannya dengan yang sudah berkembang selama ini ?

Di Ekonomi Syariah 1.0, ahli-ahli ekonomi yang muslim berusaha mengadopsi produk-produk kapitalisme agar sesuai dengan syariat Islam. Bank, Asuransi, Pasar Modal dlsb. yang berasal bukan dari system Islam – diadopsi dan dibuatkan aqad yang sesuai dengan syariat Islam.

Sekali lagi harus kita appresiasi upaya ini karena ada kaidah fiqih yang kurang lebih berbunyi “ kalau belum bisa diikuti semua jangan ditinggalkan semua…”. Artinya meskipun dengan kekurangannya, bank syariah dan asuransi syariah tetap harus dipilih ketimbang bank dan asuransi yang tidak peduli dengan syariah.

Namun itu belum cukup, kita tidak akan bisa menggantikan kapitalisme bila rujukan dasar kita masih kapitalisme itu juga. Kita tidak bisa merubah system bila yang kita ubah baru sekedar aqad-nya sedangkan ruhnya masih ruh yang itu-itu juga.

Maka ruh dari Ekonomi Syariah 2.0 (jilid 2) adalah ekonomi yang memang secara mendasar digali dan dikembangkan dari Al-Qur’an, Sunnah Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan success story penerapannya dalam sejarah Islam selama sekitar 1400 tahun terakhir.

Ekonomi Syariah 2.0 tidak terjebak pada system kapitalisme yang didominiasi pasar keuangan dan modal, tetapi kembali pada pemenuhan kebutuhan manusia yang riil. Bagaimana kekuatan produksi dibangun dengan pengelolaan sumber-sumber daya alam yang adil dan memakmurkan – bukan yang dhalim dan merusak.

Bagaimana pasar dibangun dengan memberi kesempatan yang sama bagi para pelakunya, mencegah kecurangan dan mencegah hukum rimba berlaku di pasar – yang kuat yang menang.

Bagaimana uang sebagai timbangan yang adil diberlakukan untuk mempercepat transaksi barang dan jasa, bukan uang yang menjadi instrumen untuk manipulasi daya beli masyarakat dan eksploitasi satu bangsa oleh bangsa yang lain.

Bagaimana pemerintah-pemerintah berlaku sebagai hakim yang adil untuk memastikan system yang berkeadilan yang mendominasi ekonomi pasar – bukan pemerintah yang memiliki agenda politik tersendiri atau mengikuti kehendak corporatocracy – gabungan kepentingan pemerintah/lembaga internasional dengan institusi-institusi bisnis global.

Seperti apa konkritnya Ekonomi Syariah 2.0 ini ?

Inilah yang masih harus kita gali dan kembangkan terus menerus dari tiga sumber utama itu, yaitu Al-Qur’an, Al-Hadits dan sirah kejayaan umat Islam ini di masa lalu ketika mereka berpegang pada dua sumber yang pertama.

Kita tidak perlu memulainya semua dari awal, tidak perlu reinvent the wheel – kita cukup meniru dan meneruskan pencapian generasi umat ini yang terdahulu. Insyaallah ini salah satu pekerjaan besar Rumah Hikmah yang akan mengadakan diskusi ke 2-nya akhir pekan ini.

Waktu kita tidak banyak, tetapi insyaAllah cukup karena junjungan kita Rasulullah Shallallahu ‘Alahi Wasallam-pun hanya punya waktu 23 tahun tetapi nikmat yang dibawanya sampai ke kita yang hidup lebih dari 1400 tahun sesudah beliau. Umat ini akan bisa meniru keberhasilan beliau – bila yang kita contoh memang beliau, bukan system antah berantah yang tidak jelas asal usulnya dan sudah terbukti gagal sampai tiga kali. InsyaAllah kita bisa !

Kategori : Ekonomi Makro Wednesday, 19 December 2012 07:16 Oleh : owner gerai dinar

Senin, 17 Desember 2012

Struktur Investasi Aman : Model Bawang Merah…

Pasti bukan kebetulan kalau bawang merah termasuk jenis bumbu-bumbuan yang namanya disebutkan di Al-Quran. Ilmuwan belakangan menemukan bahwa bukan hanya intinya yang bermanfaat, sampai kulit luarnya-pun mengandung senyawa fenolik yang berkhasiat obat. Manfaat lain dari bawang merah adalah sebagai suatu model untuk menjadi pelajaran, termasuk di antaranya model untuk investasi.

Bagi Anda yang bingung memikirkan investasi apa yang harus Anda lakukan dengan uang hasil jerih payah Anda, menggunakan lapisan-lapisan kulit bawang merah sebagai model investasi Anda – insyaAllah akan menjadikan investasi Anda berdaya guna ganda – dunia dan akhirat.

Illustrasi dibawah adalah urutan dari investasi tersebut.



Lapisan paling luar investasi Anda yang paling rentan dengan berbagai resiko adalah justru investasi Anda yang mengejar keuntungan semata. Paling besar resikonya karena seringkali untung yang Anda kejar justru tidak Anda peroleh.

Bahkan karena mengejar keuntungan yang tidak kunjung Anda peroleh, sering investasi paling luar ini malah mendatangkan resiko lain seperti jantungan, frustasi, merusak karakter Anda dan lain sebagainya.

Sebagaimana kulit bawang yang paling luar dan paling tipis, yang paling cepat kering atau rusak , maka investasi yang mengejar keuntungan semata ini mestinya menjadi yang paling tipis atau paling sedikit porsinya dari keseluruhan asset investasi Anda – baik asset itu berupa harta maupun waktu Anda.

Lapisan kulit bawang yang kedua sedikit lebih tebal dari yang pertama, di dunia investasi ini adalah jenis investasi di social business. Investasi yang tidak mengejar keuntungan semata, tetapi juga berusaha memberikan manfaat sosial yang luas. Menciptakan lapangan kerja bagi orang yang membutuhkan dlsb.

Karena niat Anda bukan semata-mata mencari untung, maka jenis investasi ini malah justru mengurangi resiko. Seandainya rugi dari sisi material-pun Anda masih bisa untung dari sisi lainnya yaitu ekonomi yang berputar, lapangan kerja yang tercipta dlsb.

Lebih dalam lagi adalah investasi yang aman, Anda tidak mungkin rugi lha wong niatnya memang murni untuk amal. Maka untuk yang ini mestinya lebih banyak dari porsi yang pertama dan kedua.

Di lapisan keempat adalah investasi Anda untuk keluarga dan kaum kerabat. Lebih tidak pernah rugi lagi karena uang yang Anda nafkahkan untuk mereka selain bernilai sedekah juga bernilai menyambung silaturahim.

Mereka pula yang akan ringan kaki menolong Anda di kala kesusahan, mendoakan Anda ketika Anda sudah tidak Ada dst. Maka investasi untuk mendidik mereka, melatih mereka untuk mampu berusaha mandiri dlsb. akan menjadi investasi Anda yang berdaya guna ganda.

Lapisan inti dari investasi Anda yang sesungguhnya adalah apa yang disebut Al-Baaqiyaatushshaalihaat atau amal shaleh yang kekal yaitu shalat wajib lima waktu, dzikir kepada Allah dengan tasbih, tahmid dan takbir, dan juga seluruh amal kebajikan lainnya.

Di dalamnya termasuk membangun masjid, mendirikan sekolah, menghidupkan jamaah, mengentaskan kemiskinan, memberi makan di hari kelaparan, membebaskan yang tertindas, membela yang terdzalimi dst.

Maka investasi Anda jenis kelima inilah yang seharusnya menjadi investasi Anda yang paling dominan – inti dari sebuah bawang merah. Kabar bahwa Al-Baaqiyaatushshaalihaat adalah investasi terbaik itu datangnya langsung dari Sang Maha Pencipta melalui firmanNya :

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shaleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS 18 :46).

Maka ketika Anda galau dalam menimbang apa-apa yang menjadi fokus dari investasi Anda, salah satu caranya adalah memperhatikan apa yang Anda makan – yaitu antara lain bawang merah.

Dari bawang merah ini Anda akan dapat melihat dengan visual, mana kulit yang tipis, yang lebih tebal sampai inti dari bawang merah itu.

Begitu pulalah investasi Anda seharusnya terstruktur, dari yang paling beresiko dunia akhirat, sampai yang paling aman untuk dunia akhirat Anda – yang terakhir inilah yang seharusnya menjadi fokus utama atau inti dari investasi Anda. Inilah investasi yang paling aman itu, InsyaAllah !.

Kategori : Investasi Monday, 17 December 2012 00:28 Oleh : Muhaimin Iqbal

Jumat, 07 Desember 2012

Redenominasi : Ketika Mata Uang Di-reset Angkanya…

Isu redenominasi hari-hari ini mencuat kembali setelah redam dua tahun lebih ketika ramai dibicarakan di bulan Agustus 2010. Ketika isu ini ramai diberitakan di media saat itu, saya sudah menulis dua artikel yaitu tanggal 04/08/2010 dan 05/08/2010. Dua tulisan tersebut masih relevan untuk isu saat ini, hanya saya ingin melengkapinya dengan sudut pandang lain - bahwa ada lho ‘uang’ lain yang tidak perlu di-reset angkanya dari waktu ke waktu.

Mata uang kertas itu berjalan seperti trip-meter yang ada di kendaraan Anda untuk mengukur jarak tempuh perjalanan yang telah Anda lalui. Dari waktu ke waktu Anda perlu me-reset trip-meter tersebut ketika Anda sampai tujuan Anda, atau trip-meter tersebut secara otomatis me-reset dirinya sendiri ketika jatah digit angka yang ada sudah mentok.

Redenominasi adalah me-reset ulang angka di ‘tripmeter’ uang kertas kita ketika ekonomi dalam kondisi relatif normal seperti sekarang ini. Lain dengan sanering seperti yang terjadi di negeri ini tahun 1965/1966, yaitu ketika ‘tripmeter’ tersebut mentok di angka maksimal oleh inflasi yang sangat tinggi – sehingga mau nggak mau harus di-reset ke angka awal, kalau tidak dilakukan saat itu Rupiah tidak akan bernilai apa-apa dan tidak dipercayai masyarakat.

Meskipun redenominasi dan sanering berbeda, keduanya memiliki sebab yang sama yaitu inflasi. Redenominsai timbul karena inflasi yang gradual, sedangkan sanering terpaksa dilakukan karena inflasi yang sangat tinggi. Uang kertas bisa turun drastis nilainya dalam waktu cepat sehingga perlu sanering, atau secara perlahan tetapi pasti terus menurun daya belinya sedikit demi sedikit – lama kelamaan angka di uang kita menjadi terlalu besar, saat itulah redenominasi perlu di lakukan.

Bila tahun 1970 Anda bisa membeli kambing dengan harga Rp 2,000,- ; kini (2012) Anda harus membayar kambing yang sama dengan Rp 2,000,000,- maka memang ada yang salah dengan angka uang kita. Wajar kalau pemerintah waktunya menghilangkan tiga angka nol dari uang Rupiah kita.

Bila hal itu dilakukan sekarang, maka daya beli Rupiah kita akan kembali mirip dengan Rupiah tahun 1970 yaitu Rp 2,000,- untuk satu ekor kambing dan bukan lagi Rp 2,000,000,-. Bila redenominasi itu dilakukan sekarang, maka jarak tempuh Rupiah kita yang tercatat di ‘trip-meter’ adalah 42 tahun.

Dari sini kita tahu bahwa usia uang modern seperti Rupiah ternyata tidak sampai setengah abad. Dan bukan hanya Rupiah, Dollar-pun yang ada sekarang usianya baru 41 tahun – yaitu dihitung dari Agustus 1971 ketika Dollar dilepaskan kaitannya dengan emas. Saya juga tidak yakin apakah Dollar yang ada sekarang akan bisa melampaui ulang tahun emasnya pada tahun 2021, lha wong sekarang saja sudah mulai dihancurkan melalui serangkaian Quantitative Easing.

Bahwa tidak ada pemerintah di dunia modern yang bisa mempertahankan daya beli mata uangnya dalam jangka panjang, ini sudah diprediksi oleh pemenang hadiah Nobel ekonomi tahun 1974 yaitu Friedrich August Von Hayek. Intinya dia menyatakan bahwa tidak ada penguasa di dunia yang bisa menunjukkan disiplin yang diperlukan dalam pengeluaran uang kertas. Menurutnya pula, uang yang baik yang terus bisa dipercaya oleh masyarakat justru bukan uang pemerintah tetapi uang swasta.

Sejalan dengan pendapat Von Hayek ini adalah pendapat ‘dewa’-nya ekonom futurolog barat John Naisbitt yang menyatakan dalam bukunya Mind Set ! (2008) : “Monopoli terakhir yang akan ditinggalkan umat manusia adalah monopoli uang nasional (sekarang uang fiat). Umat manusia akan meninggalkan uang nasionalnya – uang fiat yang tidak memiliki nilai intrinsik – dan menggantinya dengan uang private yaitu benda-benda riil yang memiliki nilai intrinsik”.

Saya sendiri tidak sepenuhnya sependapat dengan Von Hayek maupun John Naisbitt atas uang swasta yang lebih unggul dari uang pemerintah. Uang khususnya dalam arti alat tukar sebaiknya tetap harus penguasa yang menerbitkannya. Hanya saja penguasa ini harus pandai menjaga amanahnya sehingga seperti yang diingatkan oleh Ibnu Taimiyah bahwa “hendaklah mereka tidak mencetak fulus (uang kertas kini) yang melebihi kebutuhan transaksi di negerai kekuasaannya, karena bila mereka mencetak berlebih maka rakyat yang sudah memegang fulus tersebut yang akan dirugikan (oleh inflasi)”.

Lantas bagaimana kalau situasi ideal tidak tercapai ?, penguasa yang mencetak uang tidak bisa mengendalikan jumlah uang yang dicetaknya dan inflasi menggerus daya beli uang yang ada di masyarakat ?.

Masyarakat dapat berpegang pada panduan ulama-ulama terdahulu. Salah satunya adalah Imam Ghazali yang menyatakan bahwa : “Allah Yang Maha Besar telah menciptakan perak (Dirham) dan emas (Dinar) sebagai hakim dan perantara bagi seluruh komoditi sehingga harta kekayaan manusia bisa dinilai dengannya…perak dan emas adalah seperti cermin yang dirinya sendiri tidak memiliki warna, tetapi dia bisa menampilkan semua warna dari benda-benda yang ada”.

Jadi ketika redenominasi harus dilakukan oleh pemerintah, agar kita tidak ter-disorientasi terhadap nilai uang yang baru – yang kita butuhkan adalah hakim yang adil atau cermin itu. Untuk barang yang berilai besar sudah kita perkenalkan Dinar lima tahun terakhir – masyarakat bisa tahu bahwa harga kambing tetap dalam kisaran satu Dinar, berapapun nilai Rupiahnya !.

Untuk barang-barang yang bernilai kecil seperti sayur mayur, makan siang, beras 1 kg dlsb, sudah sejak beberapa hari lalu saya memperkenalkan universal unit of account yang saya sebut point – yaitu pecahan 1/10,000 Dinar atau 1 ¢¢ Dinar (dibaca satu sen sen Dinar). Nilai 1 point atau 1 ¢¢ ini dapat diikuti setiap saat di www.indobarter.com.

Dengan hakim yang adil atau cermin tersebut di atas, insyaAllah kita akan siap menyongsong redenominasi – kapan saja penguasa negeri ini melakukannya !.

Kategori : Ekonomi Makro Friday, 07 December 2012 06:35 Oleh : owner gerai dinar

Siapa Butuh Redenominasi, Kapan dan Berapa Angka Nol Perlu Dibuang...?

Perdebatan mengenai issue redenominasi Rupiah terus berlanjut di media-media sampai hari ini, secara umum kalau saya baca sepintas yang menolak nampaknya lebih banyak dari yang mendukung. Pemerintah dan bahkan Bank Indonesia-pun yang meniup peluit nampaknya cooling down dengan menyatakan bahwa redenominasi Rupiah bukan fokus utama saat ini. Masyarakat tidak perlu cemas karena redenominasi paling tidak - tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Masyalahnya adalah apakah redenominasi Rupiah ini memang perlu ? dan kalau perlu, kapan sebaiknya dilakukan ?.

Untuk menjawab pertanyaan ini menurut saya biar-lah ahlinya yang menjawab yaitu Bank Indonesia. Jangan biarkan para politikus yang menjawabnya, karena justru akan membuat issue redenominasi ini menjadi bola liar yang tidak menguntungkan ekonomi dan tidak menguntungkan rakyat.

Kita semua tahu issue ini tidak popular, para penguasa tentu akan berat hati seandainya harus mengambil keputusan ini karena akan berdampak buruk pada reputasinya. Sebaliknya lawan-lawan politik dapat menggunakan issue ini untuk mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk meraih simpati rakyat dengan seolah-olah memperjuangkan kepentingan rakyat – dengan menolak redenominasi Rupiah misalnya.

Salah satu cara untuk melihat perlu tidaknya redenominasi dilakukan adalah dengan mengukur daya beli uang fiat terhadap suatu komoditi baku (atau sekelompok komoditi) yang nilainya stabil sepanjang masa. Karena data yang saya punya untuk contoh stabilitas harga sepanjang zaman itu adalah kambing dan emas, maka saya dapat gunakan salah satunya untuk membuat analisa perlu tidaknya redenominasi ini. Diantara keduanya saya pilih emas karena datanya lebih lengkap dan dapat Anda verifikasi dengan berbagai sumber data lainnya seperti kitco.com dlsb.

Pertama saya ambil data harga emas per-gram dalam dua mata uang yaitu Rupiah dan US$ selama 40 tahun terakhir. Mengapa 40 tahun ?, karena sejak 40 tahun lalu tepatnya Agustus 1971 mata uang fiat dunia dilepas kaitannya dari standar emas. Sejak saat itulah uang fiat di seluruh dunia bergerak liar, sebagian lebih terkendali dari sebagian yang lain.

Data-data tersebut kemudian saya sajikan dalam grafik logaritmik dimana jarak satu gridline yang satu dengan gridline dibawahnya adalah kelipatan 10 – atau merepresentasikan satu angka nol. Hasilnya perhatikan pada grafik pertama dibawah.



Log Chart on Rupiah and US$ Gold Price

Perhatikan pada grafik US$ yang hanya melewati satu gridline sepanjang 40 tahun terakhir. Hal ini karena dalam US$ harga emas ‘hanya’ mengalami kenaikan 33 kali selama 40 tahun terakhir. Sebaliknya Rupiah menerobos 3 gridlines selama 40 tahun terakhir yaitu tahun 1973, 1980 dan 1998. Hal ini terjadi karena dalam rentang waktu 40 tahun yang sama harga emas dalam Rupiah mengalami kenaikan sampai 790 kalinya. Apa maknanya ini ?.

Negara-negara yang berhasil menekan inflasinya pada angka yang relatif rendah dalam waktu yang panjang akan semakin jarang menabrak gridline tersebut – negara semacam ini memang tidak memerlukan redenominasi pada mata uangnya. Tidak demikian halnya bagi negara yang rata-rata inflasinya tinggi, jumlah angka nol dalam mata uangnya (yang direpresentasikan dengan banyaknya gridlines yang ditabrak) akan terus bertambah sehingga apa bila dibiarkan terus akan menjadi tidak wajar. Mata uang dari negara semacam ini – termasuk diantaranya Rupiah kita – perlu di redenominasi dari waktu ke waktu.

Lantas kapan sebaiknya redenominasi ini dilakukan ?, lagi-lagi saya gunakan harga emas untuk menentukan kapannya – yaitu pada saat harga emas melewati gridline tertentu yang dipandang sudah terlalu tinggi dalam mata uang yang bersangkutan. Bila persentuhan pada gridline ini bersamaan dengan situasi ekonomi dan inflasi yang stabil, maka namanya adalah redenominasi. Tetapi bila persentuhannya bersamaan dengan gonjang-ganjing ekonomi dan inflasi tinggi – maka namanya adalah sanering.



Redenomination Scenarios

Itulah sebabnya ketika terjadi di tahun 1965/1966 namanya sanering; kemudian sempat mencuat issue sanering pula pada puncak krisis 1997/1998 karena saat itu inflasi sempat mencapai angka 78 %. Karena fokus tulisan ini adalah penghilangan beberapa angka nol tanpa mengurangi daya beli dan dilakukan pada saat ekonomi yang relatif stabil atau disebut redenominasi dan bukan sanering; maka berdasarkan grafik yang kedua diatas, kita dapat melihat ada dua waktu yang baik sebenarnya untuk melakukan redenominasi yaitu pada tahun 1983 dan 2004.

Pada tahun 1983 harga emas per gram dalam Rupiah adalah Rp 12,242/gram dan dalam Dollar adalah US$ 13.64. Bila tiga angka nol dalam uang Rupiah dihilangkan saat itu, maka harga emas dalam Rupiah akan menjadi Rp 12.24/gram , sedangkan dalam Dollar akan tetap US$ 13.64. Artinya bila Rupiah di redominasi pada tahun 1983 dengan membuang tiga angka nol, maka nilai tukar Rupiah saat itu menjadi 1 US$ 1 = Rp 0.90 ,- keren bukan...?.

Tahun 1983 negeri ini tidak memandang perlu melakukan redenominasi, begitu pula dipuncak krisis 15 tahun kemudian – kita tetap tidak merasa perlu melakukan redenominasi secara terpaksa atau sanering, kesempatan berikutnya adalah tahun 2004 pada saat harga emas dalam Rupiah mencapai Rp 102,000/gram dan dalam Dollar berada pada angka US$ 13.17/gram.

Bila redenominasi dengan membuang tiga angka nol dilakukan saat itu, maka harga emas dalam Rupiah akan menjadi Rp 102.00/gram dan dalam US$ tetap US$ 13.17 atau nilai tukar Rupiah menjadi US$ 1 = Rp 7.74. Karena hal inipun tidak ada yang merasa perlu melakukannya pada tahun 2004, maka kini seperti yang Anda lihat pada grafik – harga emas (yang merepresentasikan harga-harga kebutuhan manusia) sudah berada di separuh perjalanan menuju gridline berikutnya.

Seandainya-pun dilakukan pada tahun 2004 dengan membuang tiga angka nol, nilai tukar kita tahun tersebut belum keren-keren amat karena masih US$ 1 = Rp 7.74. Didorong oleh rata-rata inflasi Rupiah yang lebih tinggi dibandingkan dengan Dollar, saat ini nilai tukar tersebut diperkirakan sudah mencapai US$ 1 = Rp 9.15.

Redenominasi baru akan memberikan nilai tukar Rupiah yang keren dikisaran US$ 1,- = Rp 1,- adalah seandainya pada tahun 2004 tersebut otoritas negeri ini mau me-redenominasi Rupiah dengan membuang 4 angka nol dan bukan 3 angka nol !. Efek dari ini maka harga emas di tahun tersebut akan menjadi Rp 10.20/gram sementara harga emas dalam Dollar masih US$ 13.17/gram; atau nilai tukar Rupiah saat itu menjadi US$ 1,- = Rp 0.77,-. Kemudian karena efek inflasi Rupiah yang lebih tinggi, bila hal tersebut dilakukan di tahun 2004 – maka saat ini kita akan memiliki nilai tukar Rupiah yang keren yaitu pada angka perkiraan US$ 1,- = Rp 0.92,-

Well, karena tidak ada yang melakukannya tahun 1983, juga 2004 – maka kalau ada yang melakukannya sekarang – ini masih lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Akan menyakitkan dan tidak popular memang, tetapi dalam beberapa tahun mendatang pengguna Rupiah akan mensyukurinya karena keberanian otoritas tahun –tahun sebelumnya. Sama dengan besyukurnya kita saat ini – alhamdulillah pemerintah negeri ini tahun 1965 berani melakukan sanering Rupiah, bila tidak maka uang yang Anda berikan ke Pak Ogah-pun bukan lagi Rp 1,000,- tetapi Rp 1,000,000,- !. Wa Allahu A’lam.

Thursday, 05 August 2010 08:15 Oleh : Owner Gerai Dinar

Sanering, Redenominasi dan Reorientasi Nilai...

Adalah konsekwensi logis dari mata uang yang terus mengalami inflasi akan bertambah terus nol-nya dari waktu ke waktu. Untuk Rupiah, tiga angka nol yang pernah dibuang dengan susah payah tahun 1965/1966 melalui apa yang dikenal dengan Sanering Rupiah, tiga angka nol tersebut 32 tahun kemudian kembali memenuhi angka uang kita bahkan kembalinya cenderung tidak cukup tiga angka nol, melainkan malah menjadi empat atau bahkan lima angka nol. Mau bukti ?, lihat di dompet Anda – kemungkinan besar hanya uang dengan empat atau lima angka nol yang ada di dompet – karena yang nolnya hanya tiga kemungkinan sudah untuk bayar parkir, masuk kencleng infaq atau diberikan ke Pak Ogah...

Akibat dari bertambahnya angka nol terus menerus tersebut, secara berkala memang dibutuhkan otoritas yang berani mengambil keputusan untuk me-reset kembali agar angka-angka nol tersebut kembali ke jumlah semula. Proses me-reset ini bisa melalui Sanering bila ekonomi lagi gonjang-ganjing, atau melalui proses Redenominasi bila ekonomi lagi stabil. Yang pertama (Sanering) disertai penurunan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai, yang kedua (Redenominasi) hanya pencatatan beberapa angka nol-nya yang dihilangkan sedangkan daya beli masyarakat seharusnya tidak berubah.

Proses keduanya membuat panik, menyakitkan, membingungkan dan segala macam konsekwensinya – tetapi saya sendiri berpandangan justru harus dilakukan dengan berani dan cepat. Bila berlama-lama, justru akan membuat kebingungan dan ketidak pastian yang lama. Bila kita menutup mata, justru angka-angka nol yang bisa terus bertambah tersebut akan berlama-lama merepotkan dan menghantui kita semua.

Bila dilakukan dengan berani dan cepat; rasa sakit tersebut akan berlangsung cepat – namun setelah itu kita akan bersyukur telah melalui masa yang menyakitkan tersebut. Bayangkan bila tahun 1965 (diimplementasikan sampai 1966) pemerintah negeri ini tidak berani mengambil keputusan Sanering – Indonesia mungkin tidak akan pernah bisa membangun – dan bisa Anda bayangkan berapa angka nol uang kita sekarang ?.

Demikian pula bila otoritas sekarang tidak berani mengambil keputusan untuk meng-implementasikan proses Redenominasi ini; berapa angka nol uang kita pada saat Anak Anda yang baru lahir sekarang masuk perguruan tinggi delapan belas tahun yang akan datang ?. Jadi Redenominasi tetap harus dilakukan, tinggal masalahnya kapan dan siapa yang berani mengambil keputusan tidak popular tetapi perlu ini. Saya mengenal cukup baik (Pjs) Gubernur BI yang sekarang dan sungguh saya berharap beliau berani melakukannya, karena bila tidak maka yang terjadi adalah membiarkan hantu Redenominasi ini berlarut-larut ke pejabat berikutnya, kemudian pejabat berikutnya lagi dst.

Bila Redenominasi tidak dilakukan, ironi yang terjadi seperti yang kita alami sekarang akan terus berlanjut. Ironi karena rata-rata penduduk Indonesia secara harfiah dapat disebut ‘Jutawan’ (Millionaire) karena PDB Per kapita kita mencapai lebih dari Rp 24,000,000/ tahun, tetapi rata-rata ‘Jutawan’ tersebut adalah orang miskin menurut standar Islam – karena nilai Rp 24,000,000,- ini hanya setara sekitar 16.50 Dinar atau tidak mencapai nisab zakat yang 20 Dinar.

Bila keputusan Redenominasi benar-benar dilaksanakan, yang perlu dipersiapkan oleh masyarakat adalah proses Reorientasi nilai. Mengapa proses ini perlu ?, berikut saya berikan ilustrasinya.

Saya pernah mendengar keluhan pelayan hotel di daerah wisata negeri ini yang dikunjungi banyak turis asing. Ketika mereka mengantarkan pesanan room service, sering diberi tips hanya Rp 1,000,- atau bahkan koin Rp 500,-. Hal yang sama yang terjadi pada sopir taksi, para wisatawan asing tersebut tidak jarang yang menagih kembalian meskipun kembalian tersebut hanya Rp 1,000,- atau bahkan Rp 500,-.

Mengapa kesan pelitnya beberapa turis asing tersebut terjadi ?; inilah masalah Reorientasi nilai itu. Meskipun sebelum datang ke Indonesia mereka sudah pelajari angka-angka di uang kita ini dan konversinya ke nilai uang mereka; Orientasi nilai dibenak mereka masih tetap menyatakan bahwa angka 1,000 atau 500 adalah angka yang besar. Karena ketika membayar tips dan menagih kembalian, otak mereka tidak selalu sempat mengkonversi nilai ke angka nilai yang benar – maka itulah yang terjadi, nilai tips hanya Rp 1,000 dan uang kembalian taksi secara recehan –pun diminta.

Ini pula yang akan terjadi pada proses Redenominasi, orientasi di otak kita telah terbiasa dengan angka-angka besar. Ketika angka-angka tersebut berubah menjadi kecil, kita harus melatih otak kita untuk terbiasa dengan angka-angka yang menjadi kecil ini. Nampaknya mudah, tetapi karena ini harus terjadi secara massal bagi seluruh pengguna Rupiah – maka diperlukan sosialisasi yang efektif.

Apa dampaknya bila Reorientasi nilai tidak berjalan efektif ?, harga-harga bisa kacau. Misalnya si embok tukang bayem biasa menjual satu ikat bayemnya Rp 2,500,-. Dalam mata uang Rupiah baru angka tersebut seharusnya menjadi Rp 2.5,- tetapi dibenak si embok menyatakan bahwa angka Rp 2.5 ini terlalu kecil, maka dinaikanlah harga bayem dinaikkan menjadi Rp 3,-. Tanpa sadar Anda sebagai pembeli-pun meresponse angka Rp 3 tersebut dapat diterima karena lebih mudah membayarnya – dan terasa kecil oleh Anda. Maka apa yang terjadi sesungguhnya adalah inflasi 20% terhadap harga bayem.

Jadi baik produsen, pedagang mapun konsumen harus membiasakan kembali response otomatisnya yang akurat terhadap harga atau nilai barang-barang yang wajar – inilah Reorientasi yang saya maksud.

Disinilah sebenarnya keunggulan dan kebenaran Islam itu dapat terbukti dengan jelas. Kita tidak perlu kehilangan orientasi dalam hal apapun dan kapanpun – karena tuntunannya, arahannya, nilai-nilainya berlaku baku sepanjang zaman. Seperti sholat yang kita tidak perlu lagi bertanya menghadap kemana, tinggal kita tahu dimana kita berada dan dimana Ka’bah berada – maka seluruh umat sepakat kesitulah kita menghadap.

Demikian pula dalam hal nilai, kita bisa dengan mudah dan jelas dengan timbangan yang tidak pernah berubah untuk menimbang siapa yang kaya dan siapa yang miskin dengan nishab zakat yang 20 Dinar. Yang kaya wajib membayar zakat, yang miskin berhak menerima zakat – betapa kacaunya hak dan kewajiban ini seandainya nilai nishab tersebut perlu Sanering ataupun Redenominasi dari waktu kewaktu.

Maka saya-pun berandai-andai, Seandainya saja otoritas yang ada sekarang berani menggunakan satuan Dinar setidaknya sebagai unit of account atau timbangan yang adil – maka generasi-generasi yang akan datang dan gubernur-gubernur bank sentral yang akan datang sampai hari kiamat akan bersyukur – betapa mudahnya tugas mereka karena tidak harus lagi dari waktu ke waktu mengambil keputusan yang amat sangat sulit seperti Redenominasi Rupiah ini.

Sekali Dinar digunakan, nilai/daya belinya stabil – 1 Dinar satu kambing tetap sampai akhir zaman, maka tidak akan lagi pernah diperlukan Redenominasi atau bahkan Sanering. Bila ini terjadi maka Reorientasi juga tidak akan perlu dilakukan lagi. WaAllahu A’lam

Wednesday, 04 August 2010 07:53 Oleh : Owner Gerai Dinar