Laman

Selasa, 22 Januari 2013

Solusi Bukan Dari Negeri Dongeng…

Bagi yang tinggal atau bekerja di Jakarta, hari-hari ini sebagian sudah bisa bernafas lega karena kehidupan mulai bisa berjalan normal setelah sekitar sepekan dikacaukan oleh banjir. Sayangnya problem semacam ini nampaknya masih bisa terus berulang, karena konon banjir besar Jakarta bersiklus sekitar 5-6 tahunan seperti yang dialami tahun 2002, 2007 dan 2013 ini. Dengan segudang ahli dari berbagai bidang yang tumpleg bleg di Jakarta, haruskah banjir seperti ini terus berulang ?

Dari sisi keilmuan kok saya yakin sebenarnya semua tersedia di Jakarta, mulai dari ahli tata kota, ahli lingkungan, ahli bendungan, ahli meteorology, ahli pembiayaan dan sejumlah ahli-ahli lainnya yang diperlukan untuk mengatasi satu masalah besar yaitu banjir !. Tetapi mengapa kok tidak atau belum teratasi setelah sekian kali banjir besar berulang ?

Dugaan saya banjir musiman belum bisa diatasi karena pemerintah DKI Jakarta khususnya belum mengeksplorasi seluruh potensi yang ada di masyarakat untuk mengatasi masalah bersama ini. Pemerintah baru mengandalkan resources yang itu-itu saja, baik berupa intansi terkait maupun sumber pendanaannya yang mengandalkan APBD yang terbatas.

Bila masalah tidak kunjung teratasi dan makin lama makin tambah serius, artinya masalah itu berkembang melebihi kemampuan pihak terkait untuk mengatasinya. Atau dengan kata lain masalah tersebut lebih cerdas dari siapapun yang selama ini berusaha mengatasinya. Kita butuh solusi yang lebih cerdas yang belum terpikirkan dan tentu belum ditempuh sebelumnya.

Lantas bagaimana solusinya ? Di jaman teknologi ini sesungguhnya tidak terlalu sulit bagi pemda DKI untuk mencari solusi-solusi yang out of the box dalam mengatasi banjir - solusi yang belum pernah terpikirkan sebelumnya. Apa misalnya ?.

Salah satu contoh yang bisa dilakukan adalah membuat semacam sayembara atau bursa ide, semua ahli dari semua bidang diundang untuk menyampaikan ide solusinya. Kemudian team kecil yang terpilih me-review ide-ide tersebut untuk diambil yang paling efektif dan doable untuk mengatasi problem yang ada.

Ahli yang ide-nya dipakai sebagai solusi dilibatkan dalam implementasinya dan diberi reward yang pantas untuk itu.

Solusi semacam ini banyak kita jumpai dari cerita di negeri dongeng ketika raja memiliki problem besar yang tidak kunjung teratasi. Misalnya ketika raja atau keluarganya sakit dan tidak sembuh-sembuh, maka sayembaralah solusinya. Ketika raja kesulitan mencarikan jodoh untuk puterinya, sayembara pula solusinya. Dan berbagai sayembara lain yang dilakukan oleh ‘negeri dongeng’ untuk segala macam problem yang tidak mudah teratasi !.

Dari banyaknya cerita sayembara-sayembara yang dilakukan oleh negeri dongeng tersebut, ada pula sayembara yang dilakukan oleh raja di bukan negeri dongeng. Dari negeri yang ada sesungguhnya dalam cerita yang dijamin kebenarannya – yaitu cerita di Al-Quran.

Lihat misalnya cerita nabi Sulaiman yang men-‘sayembara’-kan siapa yang paling cepat bisa memindahkan istana ratu Balqis :

“Berkata Sulaiman: "Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara kamu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku sebelum mereka datang kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri"”. (QS 27:38)

“Berkata 'Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: "Aku akan datang kepadamu dengan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat dudukmu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya".” (QS 27:39)

“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia"”. (QS 27:40).

Pendekatan ‘sayembara’ oleh Nabi Sulaiman Alaihi Salam tersebut di atas adalah contoh eksplorasi sumber daya yang ada di kalangan masyarakatnya – meskipun dia sendiri sangat mampu mengatasi hal yang disayembarakan tersebut. Bayangkan kalau pak Jokowi mau menggunakan solusi banjir mengikuti petunjuk dalam kisah di Al-Qur’an ini, dampak yang di luar kebiasaan atau solusi yang bener-bener out of the box – insyaallah akan muncul. Lebih dari itu :

· Masyarakat Jakarta akan meningkat keimanannya karena solusi masalah yang selama ini tidak terselesaikan, menjadi terselesaikan karena pemimpinnya mau menggunakan petunjuk Ilahiah untuk mengatasi masalah yang ada.

· Para ahli yang ada di Jakarta mendapatkan kesempatan untuk mengamalkan ilmunya secara maksimal.

· Rakyat terlibat langsung dalam memberi solusi, rakyat bukan lagi seperti penonton sepak bola yang hanya bisa berkomentar tanpa bisa ikut main.

· Dlsb.

Kemudian setelah solusi ‘sayembara’ yang mengikuti petunjuk Al-Qur’an tersebut berhasil diimplementasikan untuk mengatasi masalah banjir di Jakarta, maka negeri ini akan dipenuhi sayembara-sayembara yang memakmurkan negeri.

· Ada sayembara untuk solusi swasembada pangan, energy dan air (FEW). · Ada sayembara untuk memilih pemimpin yang adil. · Ada sayembara untuk meng-efektifkan kurikulum pendidikan. · Ada sayembara untuk menurunkan biaya kesehatan. · Ada sayembara untuk memakmurkan rakyat melampau negeri-negeri jiran. · Dlsb. dlsb.

Maka Maha Benarlah FirmanNya yang antara lain menyebutkan bahwa Al-Qur’an itu adalah penjelasan atau jawaban atas segala sesuatu:

“…Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS 16:89)

Mudah-mudahan tulisan ini sampai ke Pak Jokowi atau bapak-bapak yang terkait di sana, sehingga tidak lama lagi kita bisa membaca pengumuman sayembara yang kurang lebih berbunyi : “….Barang siapa yang bisa menyelesaikan masalah banjir di Jakarta…..maka…..”. InsyaAllah !.

Kategori : Umum Published on Tuesday, 22 January 2013 07:23 Oleh : owner gerai dinar

Jumat, 18 Januari 2013

Barakah Bukan Musibah…

Artikel ini saya tulis di lapangan terbang karena untuk menghindari kemacetan akibat banjir, saya harus berangkat jauh lebih awal agar tidak ketinggalan pesawat. Hari-hari ini mayoritas penduduk Jakarta lagi berjuang mengatasi masalahnya sendiri-sendiri yang terkait dengan banjir ini. Tetapi benarkah kita harus melihat banjir ini hanya sebagai masalah ?, bisakah kita melihat ada peluang besar sekali yang tersembunyi di belakangnya ?.

Do’a yang diajarkan ke kita ketika melihat hujan adalah “Allahumma Shayyiban Naafi’an” atau terjemahan bebasnya “Ya Allah jadikanlah hujan ini hujan yang bermanfaat”. Seolah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ingin mengabarkan bahwa ada hujan yang bermanfaat dan ada hujan yang tidak bermanfaat.

Hujan hari-hari ini di Jakarta nampaknya menjadi hujan jenis yang kedua, bisa jadi karena kita lalai bahwa hujan ini sebenarnya bisa menjadi hujan jenis pertama yaitu hujan yang bermanfaat.

Hujan jenis pertama ini juga kita jumpai dari sejumlah ayat antara lain : “Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-biji tanaman yang diketam…” (QS 50:9) dan “Dan di langit terdapat (sebab-sebab) rezekimu dan terdapat (pula) apa yang dijanjikan kepadamu.” (QS 51:22).

Pertanyaannya adalah lantas bagaimana kita bisa mengambil manfaatnya yang lebih besar dari hujan ini, ketimbang efek sampingnya berupa mudharat seperti banjir yang saat ini kita hadapi ?.

Pertama adalah merubah sikap dahulu, bahwa hujan itu adalah barakah dan melalui hujan inilah antara lain rezeki kita diturunkan dari langit. Yang kedua adalah kemudian mengelolanya dengan segala ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada di jaman ini agar yang seharusnya barakah sumber rezeki tersebut tidak malah menjadi musibah.

Bayangkan kalau Anda punya lahan yang luas dan subur, Apa yang Anda akan lakukan dengan lahan ini ? apakah membiarkannya ditumbuhi ilalang, dijarah orang dlsb sehingga Anda hanya sibuk mengeluarkan biaya untuk menjagainya tanpa memperoleh hasil dari lahan tersebut ?.

Atau di lahan negeri ini ada cadangan gas alam yang sangat besar, apakah kita biarkan menjadi letupan-letupan kebakaran di sana –sini atau kita mengelolanya sebagi sumber energi yang melimpah ?.

Makanan (Food), Energy dan Air (Water) atau disingkat FEW adalah tiga sumber pemenuhan kebutuhan pokok manusia yang teramat penting yang bahkan menjadi alasan-alasan perang sepanjang masa. Sumber –sumber FEW itu melimpah di negeri ini, masa kita persepsikan sebagai sumber musibah ?.

Bahwa ketiganya harus dikelola bersama, ini juga diajarkan oleh uswatun hasanah kita melalui sabdanya : “Orang-orang muslim itu bersyirkah dalam tiga hal, dalam hal padang rumput, air dan api” (Sunan Abu Daud, no 3745).

Maka setelah kita menyikapi air hujan sebagai sumber rezeki yang penuh barakah, sama dengan sumber-sumber pangan dan sumber-sumber energy, insyaAllah kita akan semangat menyongsong dan mengelolanya.

Para ahli kemudian dapat merumuskan bagaimana mengelola air yang turun berlimpah secara musiman ini, agar manfaatnya bisa di-spread sepanjang tahun sebagai sumber air baku untuk minum, untuk pengairan, untuk perikanan, penunjang berbagai industri dlsb.

Bayangan saya yang perlu dibuat tidak harus waduk yang sebesar-besarnya seperti yang disampaikan Gubernur DKI kemarin jawabannya, bisa saja waduk-waduk skala kecil tetapi menyebar di sejumlah lokasi yang tepat – insyaallah akan lebih efektif dan doable dengan melibatkan masyarakat luas. Tetapi ya Wa Allahu A’lam, diserahkan ke ahlinya untuk merancangnya yang paling efektif.

Untuk menyiapkan waduk-waduk dan sarana pengelolaan air yang paripurna ini tentu dibutuhkan dana yang tidak sedikit, untuk inipun saya sudah pernah menulis sarana pengumpulan dana’nya yang melibatkan masyarakat DKI melalui dana ta’awun.

Salah satu dari tiga sarana pemenuhan kebutuhan pokok manusia itu lagi tersedia melimpah ruah di Jakarta hari-hari ini, akankah kita biarkan terus menjadi musibah padahal sesungguhnya dia sumber rezeki yang penuh barakah ? Jawabannya bukan hanya ada pada para pemimpin kita, tetapi juga ada pada diri-diri kita.

Mulai menyikapinya secara benar, kemudian berikhtiar secara maksimal dengan ilmu dan petunjukNya – InsyaAllah air hujan yang melimpah ini akan kembali menjadi sumber rezeki yang penuh barakah. Amin.

Kategori : Umum Published on Friday, 18 January 2013 08:32 Oleh : owner gerai dinar

Ta’aawun : Solusi Dua Problem Terbesar Jakarta…

Semua orang yang tinggal atau bekerja di Jakarta tahu dua problem terbesar Jakarta adalah kemacetan dan banjir. Tahun silih berganti dan gubernur-nya pun berganti, tetapi akankah dua problem besar tersebut bisa diatasi ? Kalau pertanyaan ini dijadikan pertanyaan survey, kita bisa menduga hasilnya – mayoritas orang Jakarta akan berpendapat tidak bisa diatasi – paling tidak dalam waktu dekat. Saya sendiri melihat problem itu mungkin bisa diatasi. Oleh siapa ?, bukan oleh pemerintah atau gubenurnya tetapi oleh penduduk Jakarta sendiri.

Gubernur hanya menjabat lima tahun atau kalau dipilih lagi menjadi sepuluh tahun, tetapi bila Anda bekerja atau tinggal di Jakarta – Anda berkepentingan dengan segala problem Jakarta selama puluhan tahun atau bahkan seumur hidup Anda. Jadi Anda harus menjadi bagian solusi dari problem Anda sendiri, bukan bagian dari masalahnya.

Lantas bagaimana Anda bisa menjadi bagian dari solusi itu ?

Terinspirasi oleh saking yakinnya ulama dahulu dengan Al-Qur’an sebagai jawaban atas segala masalah – tibyaanal likulli syai’ (QS 16:89)- sampai-sampai bila mereka kehilangan cemetipun mencarinya di Al-Qur’an, maka saya mencoba mencari jawaban dua masalah besar Jakarta tersebut di atas juga di Al-Qur’an.

Di antaranya saya mentadaburi ayat “…wa ta’aawanuu ‘alal birri wattaqwaa…” atau “…bertolong menolonglah kamu dalam berbuat kebajikan dan taqwa…”(QS 5:2). Bagaimana aplikasi ayat ini dalam menjawab dua problem terbesar Jakarta tersebut ?. Berikut kurang lebih solusi berbasis Ta’aawun itu.

Untuk kemacetan Jakarta yang ditimbulkan oleh berlebihannya kendaraan bermotor, ide Jokowi untuk memangkas lalu lintas menjadi separuhnya dengan peraturan ganjil genap dapat menjadi langkah awal yang baik. Tetapi langkah ini saja tidak cukup.

Langkah ini harus diikuti oleh perubahan sikap masyarakat Jakarta sendiri untuk menjadikan dirinya bagian dari solusi dan bukan bagian dari masalah. Bila tidak ada perubahan sikap ini, segala peraturan akan dicari jalan untuk mengakalinya. Yang kaya akan membeli mobil/motor lagi dengan nomor yang berbeda , yang tidak terlalu kaya akan ngakali plat nomornya saja dlsb.

Peluangnya adalah bila peraturan tersebut dijadikan momentum untuk memperbaiki sikap masyarakat Jakarta sendiri dari sikap mementingkan diri sendiri menjadi peduli pada kepentingan bersama.

Peraturan ganjil genap bisa menjadi Tipping Point – titik didih perubahan dari masyarakat yang egois menjadi masyarakat yang care and share, peduli dan berbagi. Masyarakat yang saling tolong menolong dalam kebajikan.

Ketika hari genap berlaku, yang mobilnya bernomor genap mau berbagi dengan yang nomornya ganjil dan sebaliknya. Tetapi dimana kita bisa menemukan teman untuk berbagi ini ? teman yang aman, yang bisa diajak ber-ta’aawun ?. Ini jaman teknologi ! ayo berdayakan teknologi untuk solusi.

Dengan menulis status di jejaring Anda, “mobil saya genap, hari ini rute saya dari sini ke sini dst…, siapa mau berbagi ?”. Besar kemungkinan tawaran Anda ini sudah akan direspon oleh teman-teman Anda. Yang respon-pun mugkin bukan hanya satu teman, tetapi sejumlah teman sampai mobil Anda penuh !.

Bayangkan bila solusi ini mewabah, maka berkurangnya lalu lintas kendaraan di Jakarta bisa lebih dari yang dibayangkan Jokowi !. Empat lima orang yang selama ini naik mobil sendiri-sendiri, dengan cara ini mereka suka rela berbagi dengan teman-teman yang mereka pilih sendiri – dalam satu mobil.

Apa mau orang berbagi ? disitulah masalahnya. Yang ingin menjadikan dirinya bagian dari solusi, insyaallah mau bersusah payah berbagi. Yang tidak ingin menjadi solusi, yang beranggapan solusi harus datang dari pemerintah atau orang lain, maka dia akan mencari jalan untuk mengakali peraturan.

Untuk teknologi berbagi itu kini sudah sangat luas ada di masyarakat yaitu situs-situs jejaring sosial standard yang tinggal pakai. Selain yang standard inipun, proyek yang tiga bulan lalu saya kompetisikan di situs ini O-JEX kini juga sudah mulai pada tahapan pengerjaan – insyaAllah akan menambah satu lagi instrument untuk memfasilitasi saling berbagi, ber-ta’aawun memecahkan masalah kemacetan ini.

Untuk banjir apa solusinya ?, sama dengan Ta’aawun juga. Waktunya masyarakat disadarkan bahwa banjir hanya bisa diatasi bila masyarakat terlibat aktif dalam berpartisipasi mencegah banjir. Bukan hanya disiplin dalam menjaga agar tidak membuang sampah di tempat sembarangan dlsb. tetapi juga terlibat dalam pendanaan project-project pencegahan banjir.

Jakarta butuh waduk-waduk penampungan, saluran-saluran pemecah konsentrasi air. Saluran-saluran penyaluran air yang melebihi debit normalnya di kala hujan lebat dlsb. Para insinyur Jakarta insyaAllah mampu untuk memikirkan seluruh solusi tersebut, tetapi dari mana dananya ?

Disitulah dana Ta’aawun dapat berperan. Kemampuan pemerintah untuk membangun project-project pencegahan banjir ini bisa jadi terbatas, sehingga masalah banjir terakselerasi lebih cepat dari solusi yang dibangun pemerintah.

Maka pemerintah sangat bisa melibatkan seluruh masyarakat Jakarta untuk mendanai bareng project-project pencegahan banjir itu.

Caranya adalah dengan mengumpulkan dana masyarakat yang besar kecilnya disesuaikan dengan nilai asset dan lokasi atau tingkat resiko banjir yang dihadapi. Dana ini akan besar, tetapi dihitung sedemikian rupa sehingga tidak lebih besar dari kerugian masyarakat yang ditimbulkan oleh banjir – bila banjir tersebut tidak di cegah.

Cara pengumpulan dana ta’aawun bisa dilakukan dengan membuat peraturan daerah yang mewajibkan masyarakat untuk ikut program ta’aawun – semacam wajib asuransi bangunan, tetapi harus disesuaikan dengan ketentuan syariah.

Dengan konsep ta’aawun ini masyarakat Jakarta yang tinggal di daerah bebas banjir-pun ikut berkontribusi mencegah banjir – meskipun dengan dana ta’aawun yang lebih rendah dari mereka yang memang tinggal di daerah banjir. Meskipun daerah mereka tidak banjir, kalau wilayah lainnya dari Jakarta terendam banjir – aktivitas mereka toh terganggu – jadi relevan untuk melibatkan seluruh penduduk Jakarta berkontribusi dalam dana ta’aawun banjir ini.

Lantas apa benefit yang diperoleh masyarakat agar mereka mau berkontribusi mahal dalam mengatasi banjir ini ?. Pertama dengan project-project pencegahan banjir yang didanai secara masal oleh masyarakat ini, banjir insyaAllah bisa nantinya bener-bener dicegah.

Selama project-project ini belum efektif benar mencegah banjir sepenuhnya, masyarakat yang masih mengalami kerugian karena banjir – mendapatkan penggantian kerugian dari sebagian dana ta’aawun tersebut yang dikelola untuk men-cover resiko dengan proteksi takaful, re-takaful dlsb.

Dengan melibatkan jaringan takaful (asuransi syariah) dan re-akaful (re-asuransi syariah) yang bersifat global, maka mitigasi resiko banjir akan menyebar luas ke seluruh penjuru dunia sehingga secara tidak langsung terjadi ta’aawun yang bersifat global. Dengan system ini masalah yang berat menjadi ringan karena dipikul bersama oleh seluruh masyarakat baik yang berkepentingan langsung dengan Jakarta, maupun masyarakat dunia yang mau berta’aawun mengatasi masalah yang serupa.

Kami beserta development team kami insyaAllah siap dengan konsep detilnya, bila Ada pihak yang ingin merespon ide ini secara lebih jauh menuju tahap implementasinya di lapangan.

Dapatkah ide tersebut bener-bener diimplemantsikan di Jakarta ?, jawabannya tergantung kita masyarakat Jakarta sendiri. Apakah kita akan menjadi bagian dari solusi itu atau tetap puas menjadi bagian dari masalah, apakah kita menerima status quo bahwa Jakarta identik dengan kemacetan dan banjir atau kita yakin bisa merubahnya, apakah kita merasa bahwa kepentingan untuk mengatasi masalah itu kepentingan kita atau urusan pemerintah atau orang lain dst.

Intinya jawaban itu ada di kita, bila kita yakin itu bisa dan rela berbuat untuk mewujudkannya – maka insyaAllah kita-pun bisa ! Ingat ini bila Anda lagi terjebak di kemacetan Jakarta atau terjebak dalam banjir…

Kategori : Umum Published on Friday, 28 December 2012 07:53 Oleh : owner gerai dinar

Kamis, 17 Januari 2013

Negeri (Jangan) Berbisik…

Tahun ini dan tahun depan rakyat kebanyakan negeri ini akan banyak-banyak dihibur oleh suara-suara lantang yang menjanjikan kemakmuran dan pengentasan kemiskinan. Suara-suara lantang yang menghibur rakyat tersebut kemudian akan menghilang pasca pemilihan. Setelah terpilih menjadi anggota legislatif ataupun duduk di eksekutif, mereka tidak lagi bersuara lantang – mereka rajin berbisik !.

Mengapa berbisik ? karena yang mereka omongkan tidak untuk kepentingan rakyat banyak, maka hanya dengan berbisik-bisik di antara merekalah mereka berunding untuk kepentingan kelompoknya masing-masing.

Mereka berbisik ketika mereka merencanakan plesir studi banding, berbisik ketika membicarakan anggaran, berbisik untuk mencantumkan atau menghilangkan ayat-ayat tertentu dalam perundang-undangan, berbisik ketika membuat peraturan pemerintah, berbisik ketika mereka menyusun perda dst.

Mengapa harus berbisik ? karena ada yang mereka sembunyikan dari masyarakat kebanyakan. Mereka juga harus berbisik karena banyaknya pembisik-pembisik yang sibuk menitipkan kepentingannya masing-masing.

Bahwasanya negeri ini dari pusat sampai daerah dikendalikan oleh bisik-bisik, itu dapat kita lihat dari beberapa fenomena berikut :

Mengapa rakyat kebanyakan tidak memiliki pasarnya untuk bisa menaikkan taraf hidup ? Karena para penguasa mendapatkan bisikan bahwa mal-mal modern nan mewahlah yang menaikkan gengsi pada kotanya, pasar-pasar megah yang hanya bisa dijangkau oleh yang punya uang-lah yang bisa mendatangkan pendapatan daerah yang besar. Seolah mereka berbisik “ Hanya yang kaya yang boleh jualan di sini…”

Rakyat kebanyakan yang ‘mencuri’ kesempatan untuk berjualan di pinggir-pinggir jalan, di pasar kaget dlsb – selalu menjadi korban gusuran aparat pemda yang seolah berbisik “Orang miskin jangan jualan disini, mengganggu ketertiban …”.

Ketika banjir besar melanda ibu kota dan sekitarnya seperti hari-hari ini, pemda dan masyarakat kayanya berbisik menyalahkan orang miskin. Seolah mereka-mereka yang tinggal di pinggir kali penyebabnya, mereka yang membuang sampah di kali penyebabnya. Logikanya karena orang-orang kaya tidak tinggal di pinggir kali, mereka tidak membuang sampah di pinggir kali. Lalu merekapun seolah berbisik “…orang miskin jangan tinggal di sini…”.

Yang tidak kalah menyakitkan lagi, hari-hari ini ada salah satu pemda dari kota penyangga ibu kota yang membuat aturan hanya rumah-rumah besar yang boleh dibangun oleh developer di kotanya. Alasannya adalah agar kotanya tidak menjadi kumuh, maka mereka-pun seolah berbisik “…orang miskin jangan tinggal di kota ini…”

Di rumah-rumah sakit orang miskin tidak dilayani semestinya, seolah mereka bicara “…orang miskin yang sakit jangan dibawa ke sini...”. Di sekolah-sekolah yang mahal, bahkan ada anak guru yang tidak bisa masuk sekolah dimana orang tuanya mengajar, mereka seolah bicara “…orang miskin jangan sekolah disini…”.

Barangkali inilah yang membuat negeri ini tidak kunjung makmur setelah 67 tahun merdeka, negeri ini melalaikan kepentingan orang miskin ini di hampir setiap kebijakan publik yang dibuatnya. Negeri ini berjalan melalui bisik-bisik dan melalaikan peringatan Allah antara lain melalui ayat berikut :

“Maka pergilah mereka saling berbisik-bisikan. "Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebunmu". Dan berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) padahal mereka mampu (menolongnya). Tatkala mereka melihat kebun itu, mereka berkata: "Sesungguhnya kita benar-benar orang-orang yang sesat (jalan), bahkan kita dihalangi (dari memperoleh hasilnya)"” (QS 68 : 23-27)

Padahal ada janji pertolongan dan rezeki dariNya melalui keberadaan (do’a) orang-orang miskin ini :

“Tidaklah kalian ditolong dan diberi rezeki melainkan karena adanya orang-orang yang lemah diantara kalian” (HR. Bukhari).

Maka berangkat dari fenomena yang ada di masyarakat kita yang tidak kunjung makmur, berbekal dengan ayat-ayat dan hadits yang sahih di atas, insyaAllah negeri ini bisa makmur justru ketika setiap membuat kebijakan publik – mendahulukan kepentingan orang miskin yang lemah di negeri ini.

Negeri ini bisa makmur ketika para pengambil keputusan tidak lagi berbisik, mereka bisa bersuara lantang lantaran tidak lagi ada yang mereka sembunyikan. InsyaAllah.

Kategori : Ekonomi Makro Published on Thursday, 17 January 2013 09:30 Oleh : owner gerai dinar

Senin, 14 Januari 2013

Bermimpi dan Bekerja…

Ada orang yang seharian bekerja, ada yang seharian bermimpi dan ada yang mengawali hari dengan bemimpi kemudian mengisi sisa harinya dengan bekerja untuk mewujudkan mimpinya. Salah satu dari tiga jenis orang ini pasti ada yang cocok dengan Anda, tetapi yang mana ?

Perusahaan tempat Anda bekerja pasti menginginkan Anda menjadi orang jenis pertama, yaitu orang yang mengisi harinya dengan bekerja dan bekerja. Orang yang tidak berfikir neko-neko, waktu dan pikirannya terkooptasi penuh oleh dunia kerjanya sehingga tidak sempat berfikir yang lain.

Kalau toh mempunyai cita-cita, cita-citanya sebatas jenjang karir yang sudah diplot di instansi atau perusahaan tempatnya bekerja. Karena perusahaan atau instansi suka dengan orang yang seperti ini, mereka menyebut Anda sebagai karyawan atau pegawai yang berdedikasi tinggi.

Tidak ada yang salah dengan ini, bila ini memang pilihan Anda dengan sadar bahwa inilah yang hendak Anda lakukan sampai akhir karier Anda. Yang perlu Anda pikirkan tinggal bagaimana atau apa yang Anda akan lakukan ketika karier Anda berakhir ? Ketika pengabdian Anda dipandang cukup sudah oleh perusahaan atau instansi tempat Anda bekerja ?, ketika dedikasi Anda sudah tidak diperlukan lagi !.

Golongan kedua adalah orang yang bermimpi sepanjang hari. Dia tidak harus pengangguran, bisa saja dia punya pekerjaan full time yang menyibukkan fisik dia sepanjang hari - tetapi hati dia di tempat yang lain. Dia bekerja hanya untuk memperoleh gaji, status atau motif yang lain.

Dia memiliki mimpi-mimpi yang tidak nyambung dengan pekerjaannya, tetapi juga tidak punya keberanian untuk meninggalkan pekerjaan dan mewujudkan mimpi-mimpinya.

Orang jenis kedua ini biasanya nanggung, atasan tempat Anda bekerja mudah melihat Anda sebagai karyawan yang kurang berdedikasi. Sebabnya adalah Anda tidak terlalu excited dengan pekerjaan dan jenjang karier Anda, Anda punya mimpi yang lain.

Bila Anda masuk kategori orang yang kedua ini, Anda harus fair kepada tempat Anda bekerja dan juga pada diri Anda. Anda tidak bisa berlama-lama dengan kondisi mendua demikian, suatu saat Anda harus putuskan.

Anda bisa putuskan mimpi Anda, dan fokus pada pekerjaan Anda. Atau Anda putuskan pekerjaan Anda untuk mengejar mimpi-mimpi Anda. Bila yang pertama yang Anda pilih , maka Anda akan menjadi orang jenis pertama lengkap dengan konsekwensinya. Bila yang kedua yang Anda pilih, maka Anda akan menjadi orang jenis ketiga juga lengkap dengan resikonya.

Orang jenis ketiga ini adalah orang yang memulai harinya dengan mimpi, kemudian bekerja keras sepanjang sisa harinya untuk merealisasikan mimpinya.

Namanya juga mimpi, awalnya memang serba tidak jelas. Mimpi itu seperti snapshot – snapshot foto dari beberapa kejadian yang belum nyambung satu sama lain. Maka pekerjaan pertama Anda dengan mimpi Anda adalah merangkai snapshot-snapshot tersebut menjadi rangkaian foto yang menggambarkan sesuatu yang lebih jelas.

Bila gambaran tersebut sudah begitu jelas bagi Anda, itulah sudah terjadi metamorphosis dari mimpi Anda menjadi visi Anda. Tantangan berikutnya tinggal Anda bekerja keras lagi untuk menjabarkan visi menjadi strategi dan aksi.

Pada tahap implementasi ke strategi dan aksi inilah risiko demi resiko bermunculan. Betapa banyak ide cemerlang yang tidak menghasilkan apa-apa karena dia tidak dituangkan dalam strategy yang tepat dan aksi yang paripurna.

Resiko menjadi lebih besar lagi manakala apa yang Anda visikan adalah hasil proses ide kreatif untuk menghasilkan sesuatu yang unique, yang belum pernah dilakukan atau diciptakan oleh orang sebelumnya. Andalah orang pertama itu, Andalah yang babat alas untuk membuat peta wilayah baru – Anda harus siap diterkam harimau, dipatok ular dan digigit serangga ganas.

Resiko memang besar, tetapi bila Anda berhasil maka rasa puas dan syukur Anda insyaAllah juga lebih besar. Andalah pionir yang banyak-banyak dibutuhkan negeri ini untuk mengolah segala sumber daya yang melimpah, Andalah pahlawan yang dibutuhkan untuk menciptakan lapangan kerja dan mencegah kemiskinan di negeri yang mestinya kaya ini.

Maka beranilah bermimpi, tetapi tidak berhenti hanya bermimpi. Beranilah memulai dengan bermimpi tetapi kemudian isilah hari-hari Anda dengan kerja keras untuk mewujudkan mimpi itu. InsyaAllah.

Kategori : Entrepreneurship Published on Monday, 14 January 2013 07:46 Oleh : owner gerai dinar

Kamis, 10 Januari 2013

Korupsi Kolektif Melalui Demokrasi dan Inflasi…

Seorang professor di Frankfurt School of Finance and Management – Germany, Prof. Thorsten Polleit belum lama ini mengungkapkan teorinya bahwa faham demokrasi yang dianut di hampir seluruh dunia saat ini telah membawa dampak korupsi kolektif yang sangat besar yaitu berupa inflasi. Dengan tingkat keilmuan beliau – yang dipercaya sebagai Chief German Economist for Barclay Capital selama 12 tahun - tentu teori tersebut bukan teori yang tanpa dasar.

Demokrasi yang mengandalkan suara terbanyak membuat pemerintah-pemerintah di dunia berusaha memenuhi apa yang dikehendaki oleh rakyat banyak. Pemerintah atau penguasa berkepentingan dengan perolehan suara, sehingga beresiko terhadap kelangsungan keterpilihan mereka bila tidak merespon keinginan terbanyak ini.

Masalahnya adalah keinginan masyarakat terbanyak ini belum tentu yang terbaik dan yang benar bagi kepentingan keseluruhan negeri dalam jangka panjang. Masyarakat kebanyakan akan cenderung mengharapkan hasil jangka pendek, bukan solusi yang memerlukan kerja keras dan membawa kebaikan jangka panjang.

Dalam kaitan dengan pencetakan uang misalnya, jauh lebih mudah bank-bank central dunia berkolaborasi dengan pemerintah masing-masing mencetak uang lebih banyak lagi untuk mengatasi masalah-masalah sesaat yang menjadi perhatian publik – ketimbang mencari solusi permanen dan terbaik jangka panjang yang membuat jidat mengkerut !.

Teori Prof. Thorsten Polleit ini nampaknya bisa kita saksikan langsung kebenarannya baik di negeri yang mengaku adikuasa seperti Amerika maupun apa yang kita alami di negeri ini.

Di Amerika saat ini yang menjadi isu besar adalah debt ceiling limit – batas atas hutang yang boleh dilakukan oleh pemerintah. Batas atas hutang sebesar US$ 16.4 trilyun yang diputuskan sekitar 1.5 tahun lalu tersebut kini sudah habis terpakai. Negeri itu dalam bahaya bila batas atas baru tidak berhasil disepakati antara eksekutif dan legislatif-nya dalam dua bulan ini.

Solusi yang akhirnya nanti dicapai tentu yang populer di pasar dan di rakyatnya yaitu menaikkan batas atas pinjaman ini, karena bila pinjaman dapat dinaikkan maka kehidupan masyarakat dan dunia usaha akan bisa berlanjut sebagaimana biasa - life as usual.

Tetapi masalahnya adalah apakah ini solusi terbaik ?, solusi yang bersifat permanen jangka panjang ?. Jawabannya adalah bukan solusi terbaik, ibarat orang sakit hanya dihilangkan rasa sakitnya tetapi tidak diobati penyakitnya. Buktinya mudah sekali kambuh lagi, baru 1.5 tahun lalu penyakit yang sama diusahakan mati-matian diobati – sekarang sudah kambuh lagi.

Logika sederhananya adalah kalau tetangga Anda hidup mewah dengan credit card tetapi setiap saat dikejar-kejar debt collector, ketika mereka datang kepada Anda minta tolong – lantas solusinya apakah Anda menolong dengan meminjami mereka dengan credit card Anda, atau menasihatinya untuk hidup sesuai kemampuannya ?.

Yang pertama mudah dan menyenangkan tetapi membawa bahaya ke Anda juga dalam jangka panjang. Yang kedua pahit, membuat Anda tidak populer dihadapan tetangga Anda – tetapi itulah yang benar dan bisa menyembuhkan.

Hampir pasti solusi yang akan ditempuh Amerika adalah solusi pertama karena di masyarakat demokrasi mereka, pemerintah perlu populer meskipun dengan ini tumpukan hutang akan meninggi dan bebannya kembali ke rakyat dalam jangka panjang - hanya tidak atau belum disadari saja.

Hutang yang bertambah mendorong pencetakan uang yang lebih banyak, uang yang ada di masyarakat akan turun daya belinya secara menyeluruh – dan inilah inflasi yang menjadi korupsi kolektif itu. Inflasi menjadi instrumen legal untuk mengambil kekayaan masyarakat dengan paksa dan tanpa bisa dilawan, mudah dan yang diambil hartanya tidak segera merasa kehilangan .

Contoh kasus berikutnya adalah yang kita alami di Indonesia. Karena kita menganut demokrasi yang kurang lebih sama dengan yang di Amerika, maka keputusan-keputusan yang diambil oleh eksekutif dan legislatif kita juga cenderung untuk menyenangkan masyarakat banyak dalam jangka pendek.

Ambil misalnya krisis subsidi bahan bakar, keputusannya cenderung untuk menambah subsidi untuk mampu menekan harga bahan bakar sesaat – karena ini yang mudah, populer dan diharapkan oleh masyarakat banyak. Tetapi menambah subsidi ini kan bukan menyembuhkan penyakit ? dia hanya mengurangi rasa sakit sesaat.

Upaya penyembuhan penyakit yang sesungguhnya perlu kerja keras yang bisa pahit , tidak populer dan hasilnya jangka panjang. Hasil jangka panjang inilah yang tidak sesuai dengan kepentingan demokrasi – karena saat penyakit tersebut benar-benar sembuh sudah orang atau partai lain lagi yang mendapat gilirannya untuk berkuasa dan mendapatkan kredit-nya.

Kasus yang mirip dengan subsidi bahan bakar tersebut adalah masalah impor kebutuhan bahan pokok kita seperti kedelai , daging dlsb. Masih terngiang di ingatan kita bagaimana produsen tahu dan tempe menjerit atas tingginya harga kedelai ? apa solusinya ? solusinya impor yang lebih banyak.

Sesaat kemudian pedagang daging menjerit dengan tingginya harga daging, apa solusinya ? lagi-lagi membuka kran impor yang lebih banyak. Ini semua adalah obat penghilang rasa sakit dan bukan penyembuh penyakit.

Penyakitnya sendiri kambuh dalam skala yang lebih besar dengan wabah yang lebih luas. Berupa apa ?, inilah defisit neraca perdagangan yang dialami negeri ini tahun 2012 lalu. Ini adalah defisit pertama sejak defisit terakhir 52 tahun lalu atau tepatnya tahun 1961.

Mengapa defisit neraca perdagangan ini ibarat penyakit adalah wabah yang lebih serius dan meluas ? Karena meskipun mungkin gejalanya tidak atau belum kita rasakan – tetapi defisit ini akan menggerus nilai kekayaan siapa saja yang hidup di negeri defisit.

Karena kita lebih banyak mengkonsumsi daripada memproduksi, maka kembali ki ibarat rumah tangga Anda – apa yang terjadi bila belanja keluarga Anda lebih besar dari pendapatan Anda ?, makin lama makin miskin dan hutang akan semakin banyak.

Kalau sudah penyakit defisit ini kambuh, upaya penyembuhannya-pun bisa menyakitkan. Untuk mengurangi impor dan meningkatkan daya saing ekspor misalnya, salah satu instrumen yang biasa dipakai otoritas moneter adalah dengan menurunkan nilai uang kita.

Dengan cara ini barang-barang impor akan bertambah mahal dan kurang menarik, sebaliknya barang-barang ekspor kita terasa murah oleh uang negeri pengimpor.

Karena strategi menurunkan daya beli uang ini juga diketahui oleh seluruh negara lain di dunia, maka mereka berlomba menurunkan daya beli uangnya untuk bisa memenangkan persaingan pasar ekspor produk mereka masing-masing. Perlombaan menurunkan daya beli uang inilah yang sering disebut currency war – perang mata uang itu, perang untuk saling membanting harga uang !.

Siapa korban perang dari currency war ini ?, lagi-lagi adalah rakyat kebanyakan. Kekayaan mereka yang tersimpan dalam bentuk tabungan, deposito, asuransi, dana pensiun, tunjangan hari tua, dana kesehatan dlsb – semua yang terdenominasi dalam mata uang yang terlibat dalam currency war secara langsung maupun tidak langsung – menurun daya belinya. Inilah korban korupsi kolektif yang bermula dari demokrasi yang kemudian membawa kepada keputusan yang inflatif.

Lantas bagaimana kita dapat menghindarkan diri dari menjadi korban korupsi kolektif yang diteorikan oleh Prof. Thorsten Polleit tersebut di atas ?.

Pertama kita harus sadar dahulu bahwa kita sedang menjadi korban itu. Caranya adalah dengan mengecek penghasilan Anda, tabungan Anda, dana pensiun Anda dlsb. Apakah nilainya meningkat bila diukur dengan satuan yang baku – universal unit of account - atau malah menurun, bila ternyata menurun berarti Anda telah ikut menjadi korban korupsi kolektif itu.

Untuk mengecek pergerakan asset Anda tersebut dapat Anda gunakan Kalkulator Dinar di menu situs ini atau Kalkulator Point di www.indobarter.com .

Setelah ternyata Anda juga menjadi korban korupsi kolektif ini, maka amankan aset Anda dari Wealth Reducing Assets (aset-aset yang menjadi korban korupsi kolektif) menjadi Wealth Preserving Assets – yaitu aset-aset yang mampu mempertahankan kemakmuran pemiliknya. Yang kedua ini bisa Dinar/emas, property dan aset-aset riil lainnya yang terjaga nilainya.

Tahap berikutnya adalah mengupayakan agar aset-aset Anda menjadi Wealth Producing Assets, yaitu aset-aset yang meningkatkan kemakmuran Anda melalui usaha, perdagangan, pertanian, peternakan dlsb.

Tidak mudah, perlu kerja keras dengan berurai keringat dan kadang juga air mata, pahit dlsb. tetapi itulah obat yang sesungguhnya. Bukan sekedar penghilang rasa sakit, tetapi insyaAllah bener-bener menyembuhkan penyakit. InsyaAllah kita bisa menghindarkan diri dari menjadi korban masal dari wabah penyakit korupsi kolektif itu. InsyaAllah.

Published on Thursday, 10 January 2013 07:40 Oleh : owner gerai dinar

Selasa, 08 Januari 2013

Error Peradaban…

Anda tahu kilogram, meter dan liter ?, apa persamaan ketiganya ?. Ketiganya mewakili satuan pengukuran, yaitu masing-masing untuk mengukur berat, mengukur panjang dan mengukur volume. Berbeda gunanya, tetapi satuan ini sama di seluruh dunia dan tidak berubah sejak pertama kali digunakan dalam peradaban manusia.

Anda tentu juga sangat tahu tentang Rupiah, Dollar dan Riyal ?, ketiganya adalah satuan mata uang untuk tiga negara yang berbeda. Ketiganya berfungsi untuk mengukur nilai (unit of account) atau menilai harga barang-barang dan jasa. Ketiganya tidak bernilai tetap, cenderung terus menurun dan satu mata uang berbeda laju penurunannya dibandingkan dengan mata uang yang lain.

Kelompok pertama bernilai tetap dan berlaku sepanjang jaman meskipun dikonversi dengan sebutan yang berbeda. Misalnya 1 kg, bisa dikonversi menjadi pound dengan nilai 2.20462. Kilogramnya tetap dan pound-nya juga tetap.

1 meter bisa dikonversi menjadi 3.28084 feet, meternya tetap dan feet-nya juga tetap. 1 liter bisa dikonversi menjadi 0.264172 galon, liternya tetap dan galonnya-pun tetap.

Jadi dalam urusan berat, panjang dan volume ada satuan-satuan yang dipakai secara baku di seluruh dunia, bisa disebut secara berbeda tetapi masing-masing jenis satuan selalu bisa dikonversikan ke yang lain dengan nilai konversi yang tetap.

Ironinya adalah dalam urusan yang tidak kalah pentingnya dengan menimbang berat, mengukur panjang dan menakar volume – yaitu urusan menentukan nilai, ternyata manusia modern tidak memiliki satuan yang baku. Masing-masing negara memiliki satuannya sendiri, tetapi negara-negara tersebut tidak pada bisa menjaganya menjadi satuan yang baku.

Walhasil ketika dikonversikan ke satuan nilai negara lain, hasilnya juga tidak baku. 1 Rupiah sekarang sangat berbeda dengan 1 Rupiah yang sama tahun 2000. 1 Dollar sekarang berbeda dengan 1 Dollar tahun 2000. Kalau dikonversikan di antara keduanya dari Rupiah ke Dollar atau sebaliknya, hasilnya tidak pernah sama dari satu waktu ke waktu yang lain.

Ternyata timbangan nilai yang dipakai manusia modern justru sangat tidak reliable, tidak berfungsi dengan semestinya. Timbangan berupa mata uang kertas yang seharusnya berfungsi tiga yaitu sebagai penentu nilai (unit of account), penyimpan nilai (store of value) dan alat tukar (medium of exchange), ternyata hanya fungsi yang terakhir yang berjalan.

Bila Anda membuat program komputer untuk menjalankan serangkaian fungsi, tetapi ternyata yang berfungsi hanya satu dari sekian fungsi yang seharusnya – apa yang terjadi ? itulah Error !. Karena uang kertas adalah produk peradaban yang seharusnya berfungsi tiga tadi tetapi ternyata hanya satu yang jalan, maka saya menyebutnya sebagai Error Peradaban.

Untuk lebih mudah memahami Error Peradaban ini, saya buatkan ilustrasi sebagai berikut :

Bayangkan dahulu kala di jaman Majapahit, ada seorang petani kaya yang memperkerjakan sejumlah buruh tani untuk menanam padi. Kepada masing-masing buruh tani ini dijanjikan upahnya nanti pada saat panen masing-masing akan memperoleh gabah seberat 25 bakul.

Ketika panen tiba, petani kaya membagikan upah ke masing-masing buruh 25 bakul dan semuanya senang karena itu cukup untuk makan sekeluarganya sampai panen berikutnya.

Musim panen berikutnya petani kaya waktunya membagi lagi 25 bakul untuk masing-masing buruh taninya, tetapi bakul yang dipakainya bukan lagi bakul yang dahulu. Petani kaya menggunakan bakul yang sedikit lebih kecil, tanpa menyadarinya si petani menerima bayarannya dan membawa pulang 25 bakul gabah.

Begitu seterusnya setiap musim panen tiba, petani kaya selalu memiliki bakul baru yang sedikit lebih kecil ukurannya untuk menakar upah para buruh taninya. Maka sekian musim panen berlalu, petani selalu membawa pulang 25 bakul gabah untuk keluarganya. Tetapi kok gabah yang diterimanya semakin tidak cukup dan terus semakin tidak cukup.

Apa yang terjadi dengan bakul yang mengecil itulah yang terjadi dengan temuan peradaban manusia modern yang disebut uang kertas itu. Namanya inflasi yang ‘menggerogoti bakul’ sehingga makin lama makin kecil – tanpa kita sadari.

Tahun 1995 seorang senior manager di perusahaan menengah bergaji Rp 10 juta, kini untuk posisi yang sama gajinya Rp 40 juta. Mana yang lebih tinggi ?, tahun 1995 gaji 10 juta setara dengan sekitar 80 Dinar atau 80 ekor kambing ukuran baik. Kini Rp 40 juta hanya setara dengan 18 Dinar atau 18 ekor kambing ukuran baik. Anda bisa cek perhitungan ini dengan Kalkulator Dinar di menu situs ini. Tahun 1995 seorang manager biasa di perusahaan, bergaji Rp 2.5 juta, kini untuk posisi yang sama gajinya Rp 10 juta. Tahun 1995 gaji 10 juta setara dengan sekitar 20 Dinar atau 20 ekor kambing ukuran baik. Kini Rp 10 juta hanya setara dengan 4 Dinar atau 4 ekor kambing ukuran baik

Seorang manager di perusahaan menengah tahun 1995 mampu memikul biaya hidup bagi keluarga besarnya, orang tuanya, adik-adiknya, ponakannya dlsb. disamping tentu keluarganya sendiri . Seorang manager perusahaan menengah sekarang mungkin hanya cukup untuk menghidupi keluarganya sendiri.

Apa penyebabnya ?, karerna harga barang-barang kebutuhan menjadi mahal ?, betul memang faktanya biaya hidup tambah mahal. Tetapi apa yang membuatnya mahal ?, itulah ‘bakul yang mengecil’ tadi yang di peradaban manusia modern disebut inflasi.

Lantas apakah solusinya para karyawan di jaman ini rame-rame minta naik gaji ?, bukan itu solusinya karena perusahaan tempatnya bekerja juga belum tentu tumbuh. Dia mengira hasilnya tumbuh karena menakarnya dengan bakul yang sama – yaitu bakul yang mengecil.

Tempat si manager bekerja tersebut tahun 1995 memiliki aset Rp 100 milyar dan kini asetnya mencapai Rp 1 trilyun, apa perusahaan bener-bener tumbuh selama ini ?. Untuk mengetahuinya lagi-lagi kita dapat gunakan Kalkulator Dinar yang sama.

Rp 100 milyar tahun 1995 adalah setara 805,153 Dinar (tahun 1995 perusahaan memiliki 805,153 ekor kambing !), sedangkan Rp 1 trilyun kini hanya setara 441,228 Dinar ! (tinggal 441,228 ekor kambing !). Jadi perusahaan tidak mampu menaikkan kesejahteraan para karyawan dan manajernya karena perusaan sendiri aset-nya juga ternyata menyusut tanpa sadar.

Jadi yang membuat penurunan kwalitas hidup manusia modern itu antara lain adalah tidak berfungsinya satuan timbangan yang baku yaitu satuan timbangan yang sangat penting yang digunakan sehari-hari untuk menentukan upah buruh, mengukur aset perusahaan dlsb – itulah satuan mata uang fiat.

Tanpa satuan yang baku, kita tidak bisa mencanangkan target secara akurat untuk peningkatan kwalitas hidup individu atau pertumbuhan aset bagi perusahaan. Target-target yang kita capai selama ini yang diukur dengan Rupiah, Dollar ataupun mata uang kertas lainnya – adalah target semu, yang secara angka bisa saja kita capai – tetapi pada hakekatnya secara nilai tidak bener-bener kita capai.

Untuk mencegah proses pemiskinan tanpa sadar ini terus berlanjut seperti yang dialami para buruh tani di jaman Majapahit dan juga para pegawai dan manajer di jaman ini, maka timbangan yang baku untuk mengukur nilai itu memang sudah waktunya kita gunakan. Itulah fungsi yang coba diperankan oleh Kalkulator Dinar dan Kalkulator Point.

Peradaban mata uang yang seharusnya memudahkan manusia untuk bisa bermuamalah secara adil satu sama lain itu, ternyata memiliki Fatal Error yang berdampak pada penurunan kwalitas hidup manusia pada umumnya. Ada dua kemungkinan yang bisa kita lakukan, membetulkan Error tersebut atau mengganti sama sekali ‘program’-nya. Saya mencoba membetulkan Error-nya dahulu, siapa tahu masih bisa dibetulkan. Wa Allahu A’lam.

Kategori : Ekonomi Makro Tuesday, 08 January 2013 07:11 Diadaptasi dari : owner gerai dinar

Senin, 07 Januari 2013

Harga Emas : Tidak Terlalu Tinggi dan Tidak Terlalu Rendah…

Gunjang-ganjing harga emas dunia terjadi pada akhir pekan lalu ketika harga emas jatuh dibawah US$ 1,630/ozt sebelum akhirnya balik ke angka US$ 1,650-an. Rentang harga yang jauh ini terjadi karena pasar sempat panik setelah di-release-nya catatan pertemuan the Fed, bahwa QE -3 mungkin akan diakhiri tahun ini. Untuk sesaat pasar meresponnya dengan sentimen negatif berupa aksi jual emas karena harga emas diduga akan terus turun bila the Fed tidak lagi mencetak uang terus menerus dari awang-awang. Tetapi apa yang kemudian mendorong harga naik kembali dalam beberapa jam kemudian ?

Segera setelah pasar berfikir logis, bahwa secara fundamental problem ekonomi Amerika belum banyak berubah – bahwa segudang masalah masih menghadang di depan mata, maka pasar emas-pun kembali ke harga yang menurut saya wajar.

Tiga masalah utama yang dihadapi pemerintah Amerika saat ini adalah rencana pemotongan belanja dalam jangka panjang, peningkatan pendapatan dan kesepakatan batas atas pinjaman. Untuk mengatasi masalah yang terakhir misalnya , yaitu proses negosiasi batas atas pinjaman negeri itu yang dilakukan di musim panas tahun 2011 lalu – telah mendorong harga emas naik ke angka tertingginya sepanjang sejarah – sempat menyentuh angka US$ 1,900/ozt di awal September 2011.

Batas atas pinjaman yang kini dipatok pada angka US$ 16.4 trilyun itu telah habis lagi terpakai sampai akhir 2012 lalu. Saat ini pemerintah negeri itu sedang berusaha dengan berbagai cara untuk mengatasi masalah hutang yang sudah mentog ini, tetapi kemungkinan hanya akan bertahan dua bulan sampai akhir bulan depan.

Negosiasi yang alot akan kembali terjadi mulai dalam beberapa pekan kedepan dan pasar berharap-harap cemas akan apa yang kemungkinan terjadi. Lembaga pemeringkat Moody’s Investor Services bahkan sudah mengeluarkan warning bahwa ada kemungkinan mereka menurunkan rating pinjaman negeri itu bila masalah kesepakatan penurunan defisit tidak tercapai.

Dengan berbagai isu tersebut di atas, memang dalam jangka pendek harga emas dunia mudah bergejolak dari satu ekstrem ke ekstrem yang lain. Namun setelah mengamati pergerakan harga emas ini dalam lima tahun terakhir, saya menjadi semakin yakin bahwa emas itulah uang yang sesungguhnya. Dia bisa naik tinggi tetapi tidak terlalu tinggi, atau turun rendah tetapi juga tidak terlalu rendah.

Mengapa demikian ?, atas kuasa Allah kepemilikan emas itu relatif menyebar ke seluruh pelosok dunia. Amerika-pun yang berusaha menguasai emas dunia sejak lebih dari setengah abad terakhir, penguasaan mereka hingga kini tidak lebih dari 5% dari emas dunia. Kepemilikan yang menyebar ini membuat tidak ada satu pihak-pun yang terlalu dominan di pasar.

Walhasil pasar emas dunia merupakan pasar yang paling mendekati pasar sempurna dalam mekanisme pembentukan harganya. Ketika sentimen orang beli meningkat, stok relative tetap – maka harga melonjak. Ketika sudah cukup tinggi, pemilik stok merasa waktunya melepas stoknya – meningkatkan jumlah supply yang available untuk dijual – harga kembali turun, begitu pula sebaliknya.

Karena mekanisme pembentukan harga yang terjaga mendekati pasar sempurna inilah maka emas menjadi uang yang paling adil. Daya beli Dinar emas misalnya tidak akan melonjak sampai cukup untuk membeli sapi, tetapi juga tidak akan turun sampai hanya cukup untuk membeli ayam. Harga Dinar tetap berada di kisaran harga kambing selama ribuan tahun. Berspekulasi dengan harga emas secara umum tidak akan membuat seseorang menjadi kaya – karena harga emas yang tidak bisa terlalu tinggi itu tadi.

Positioning emas yang paling pas untuk saat ini adalah sebagai unit of account, store of value dan bila sudah memungkinkan juga menjadi medium of exchange.

Sebagai unit of account dia akan terus dapat menimbang secara adil nilai barang-barang kebutuhan manusia sepanjang jaman, naiknya harga dia seiring naiknya komoditi lain – demikian pula dengan turunnya harga dia seiring turunnya harga-harga komoditi lain. Kemudian tinggal menyisakan faktor supply and demand – yaitu fitrah pembentukan harga di pasar.

Sebagai store of value, emas berulang kali menunjukkan fungsinya yang sangat efektif melindungi asset rakyat manakala pemerintah –pemerintah dunia gagal melindunginya. Untuk fungsi ini Anda bisa tes menggunakan Kalkulator Dinar yang saya perkenalkan di menu situs ini sejak kemarin.

Di Indonesia di awal krisis 1997, harga 1 Dinar Rp 133,900,- di puncak krisis ketika pemerintah saat itu tidak bisa mengendalikan daya beli uang Rupiah kita, tahun 1998 harga Dinar ikut melonjak menjadi Rp 418,300. Dinar melompat proporsional harganya seiring dengan penurunan daya beli Rupiah saat itu.

Sepuluh tahun kemudian, ketika Amerika mulai dilanda krisis sub-prime mortgage hal yang sama terulang di negeri lain yang katanya perkasa. Sebelum krisis 2007, harga 1 Dinar setara US$ 89,-, pada krisis yang pertama tahun 2008, harga Dinar melonjak menjadi US$ 123,-. Dan hingga kini, respon atas ketidak mampuan negeri itu mengelola uangnya – yang menjadi reserve currency dunia, harga Dinar berada di kisaran angka US$ 235,- atau naik 164 % dalam lima tahun krisis financial Amerika.

Setelah dua dari tiga fungsi uang yaitu unit of account dan store of value terbukti diperankan dengan sangat efektif oleh emas, maka tinggal satu fungsi saja yang nantinya akan terjadi dengan sendirinya yaitu sebagai medium of exchange atau alat tukar.

Setelah dunia lelah bereksperimen dengan uang fiat berabad-abad lamanya, kegagalan demi kegagalan, eksploitasi demi eksploitasi – maka masyarakat yang cerdas dunia insyaAllah akan kembali pada yang fitrah, mata uang yang adil sepanjang jaman yaitu satu-satunya mata uang yang berperan paripurna dalam ketiga fungsinya – unit of account, store of value dan medium of exchange. InsyaAllah.

Monday, 07 January 2013 10:24 Oleh : owner gerai dinar

Jumat, 04 Januari 2013

Ekonomi Silaturahim...

Ketika seekor anak kucing dalam bahaya, ibunya mengamankannya dengan menggigit lehernya untuk dibawa menjauh dari bahaya. Ketika anak monyet dalam bahaya, induk monyet lari dahulu kemudian anaknya mengejar dan nggemblok di punggungnya. Anak kucing pasif dan ibunya yang aktif, sedangkan anak monyet aktif meskipun ibunya tidak peduli. Dari keduanya, mana yang lebih dekat dengan system ekonomi kita saat ini ?

Ekonomi rakyat kita sesungguhnya dalam bahaya karena setelah 67 tahun merdeka pendapatan rata-rata kita baru di kisaran US$ 3,500 atau sekitar 15 Dinar atau sekitar 75 % dari nishab zakat. Hidup di negeri yang berlimpah sumber daya alam dan manusia-manusia cerdas di dalamnya, pencapian ini mestinya patut direnungkan.

Kira-kira apa penyebabnya ? ada dua area yang menurut saya sendiri menjadi penyebab utamanya – dan ini adalah dua unsur utama ekonomi, yaitu sisi penguasaan produksi dan sisi penguasaan pasar.

Untuk produksi kita masih dijejali dengan berbagai produk orang lain, sejak bangun tidur sampai tidur kembali. Bangun tidur kita langsung mencari HP produk Amerika, Canada, Finlandia, Jepang, Korea ataupun yang dari China.

Duduk di meja makan, sarapan pagi kita makan mie atau roti yang bahan baku terigunya 100% impor. Well kadang makan nasi pakai tempe, tetapi sebagian beras dan kedelainya juga impor.

Begitu seterusnya menjelang tidur noton berita dahulu dari televisi produksi Jepang, Korea atau China lagi. Berselimut di kamar yang sejuk dengan AC produksi Jepang, Korea atau China lagi. Ironinya ketika kedinginan, kemulan dengan selimut tebal juga dari China.

Tidak masalah memang menggunakan produk impor, tidak juga haram karena memang kita diciptakan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal – dan tentunya juga saling bermuamalah. Masalahnya adalah ketika muamalah itu lebih berat ke satu arah, maka negeri yang kaya sumber daya alam bisa ketinggalan jauh dalam hal kemakmurannya.

Penguasaan pasar yang canggih oleh bangsa lain dalam system perdagangan internasional yang membuat ekonomi kita lebih condong pada ekonomi konsumsi ketimbang ekonomi produksi, inilah yang membuat keunggulan sumber daya alam maupun sumber daya manusia kita menjadi tidak terolah secara optimal.

Dengan laut kita yang sangat kaya, bumi kita yang sangat subur lengkap dengan manusianya yang banyak yang cerdas-cerdas – mestinya kita berpeluang untuk menjadi negara yang makmur – lha wong dari dulu kita tahu bumi kita ini adalah bumi yang gemah ripah loh jiawi, tongkat dan kayupun jadi tanaman, sungai dan lautannya adalah ‘kolam susu’ ?.

Tetapi kalau realitanya rata-rata penduduk negeri ini berpenghasilan dibawah nishab zakat, pasti ada yang salah dalam pengelolaan kekayaan yang melimpah di sekitar kita – yang membuat kita seperti itik yang merana di lumbung padi.

Lantas siapa yang bisa membuat perubahan atas situasi ini ? Disinilah relevannya peribahasa anak kucing dan anak monyet di awal tulisan ini. Nampaknya kita bukan ibarat anak kucing yang induknya ‘care’ dan menyelamatkan kita ketika kita dalam bahaya.

Ibarat kita lebih mendekati ibarat anak monyek yang induknya berlari dahulu menyelamatkan diri ketika melihat bahaya datang. Paling tidak dari media koran, televisi dan internet – kita menyaksikan betapa para pemimpin kita di eksekutif, legislatif dan yudikatif – umyek dengan kegaduhannya sendiri.

Dari sibuk memperebutkan kekuasaan, sibuk memupuk pundi-pundi untuk perebutan kekuasaan, korupsi sampai intrik-intrik politik yang tiada henti. Lantas siapa yang menyelamatkan rakyat ini dari kesulitan demi kesulitan ?, dari ekonomi yang didominasi oleh produk asing ataupun konglomerasi dalam negeri ? ya rakyat ini sendirilah yang harus aktif menyelamatkan diri lha wong ‘induk’ kita nampak tidak peduli dan bahkan pada berlarian sendiri-sendiri.

Tetapi apa yang bisa dilakukan oleh rakyat ini ?, meyambung silaturahim dalam arti yang sesungguhnya insyaallah bisa menjadi solusi. Bukan basa-basi tetapi dengan niat yang serius dan tulus kita ingin saling berbagi. Berbagi sumber daya, pasar, kesempatan, pengetahuan dlsb.

Tahun ini dan tahun depan, para elit negeri ini akan disibukkan oleh gonjang-ganjing politik di arena pemilu legislatif dan eksekutif. Pada saat yang bersamaan, ekonomi dunia yang lagi belum sembuh benar dari krisis sejak 2008 – mungkin akan terus berlanjut dan bahkan juga mungkin ada trigger krisis ekonomi baru oleh perubahan geopolitik dunia seperti meningkatnya ketegangan China dengan Jepang dlsb.

Rakyat seperti kita-kita, harus bisa proaktif menyelamatkan urusan ekonomi kita sendiri, dengan memulai dari orang-orang yang kita kenal di lingkungan atau komunitas kita. Dengan membuka hati dan tangan kita untuk saudara kita, bagaimana kita bisa saling membantu. Bagaimana kita bisa saling membeli atau bertukar produk-produk kita sendiri.

Mulai dari lingkup yang kecil, ketika roda-roda gigi itu saling memutar – maka dia akan sanggup memutar roda gigi yang lebih besar dan seterusnya. Dengan ekonomi yang berbasis silaturahim kerakyatan ini, insyaAllah kita akan bisa selamat meskipun ‘induk-induk’ kita sibuk berlarian menyelamatkan diri sendiri. Wa Allahu A’lam.


Rabu, 02 Januari 2013

Antara Kapitalisme, Ekonomi Syariah 1.0 dan Ekonomi Syariah 2.0…

Ibarat hubungan antara laki-laki dengan perempuan, kapitalisme itu adalah pasangan kumpul kebo. Asal dua belah pihak sudah suka sama suka, maka tidak perlu nikah resmi-pun jadilah. Riba-pun dianggap halal karena terjadinya dari suka sama suka, demikian pula dengan sumber daya alam, sumber modal dan pasar diekslpoitasi oleh segelintir orang-pun dianggap sah-sah saja karena pihak yang lain – masyarakat luas – pasrah dan menerima kondisi ini.

Lantas muncullah generasi Ekonomi Syariah tahap awal yang saya sebut Ekonomi Syariah 1.0, kita apresiasi upaya teman-teman yang mencegah terjadinya ‘pasangan kumpul kebo’ tersebut dengan menyerukan perlunya ‘aqad nikah’ – aqad yang membuat yang sebelumnya haram menjadi halal.

Terlepas bahwa perilaku pasangan yang ‘dinikahkan’ tersebut masih mirip dengan perilaku ‘kumpul kebo’ sebelumnya, tetapi setidaknya secara aqad mereka sudah menikah secara sah – secara aqad halal. Bila masih banyak kritik dari masyarakat ‘ katanya syariah kok begini, kok begitu…’, ini wajar saja karena memang baru aqad-nya yang didandani.

Tetapi mesikpun baru aqad-nya yang dihalalkan sedangkan perilakunya belum, tidak berarti masyarakat terus pilih ‘kumpul kebo’ saja yang haram sekalian – tetap yang ‘menikah’ lebih baik. Meskipun si suami masih suka nggebukin istrinya, meskipun si istri masih rame-rame mendominasi para suami sehingga timbul istilah ISTI (Ikatan Suami Takut Istri), meskipun mereka belum peduli tentang tujuan pernikahan, belum peduli tentang anak yang dilahirkan menjadi apa nantinya – tetap saja ini tidak lantas membuat aqad nikah yang sah itu tidak perlu.

Maka pencapaian Ekonomi Syariah 1.0 (ES 1.0) ini perlu diteruskan dan disempurnakan – itulah yang saya sebut Ekonomi Syariah 2.0 (ES 2.0). Jadi ES 2.0 bukanlah kritik terhadap kekurangan di ES 1.0, tetapi merupakan lanjutan dan penyempurnaan dari apa yang sudah dimulai oleh ES 1.0.

Ibarat hubungan laki-laki dan perempuan tadi, setelah mereka ber-‘aqad nikah’ secara sah di ES 1.0, selanjutnya di ES 2.0 mereka harus bisa membina keluarga yang benar. Agar timbul sakinah di hati sang suami, agar timbul mawaddah warahmah di antara keduanya, agar dari mereka kelak lahir para pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa dst.

Bila karakter ekonomi ‘kumpul kebo’ kapitalisme itu eksploitatif – mengambil manfaat sebesar-besarnya bagi dirinya sendiri, ES 1.0 berkarakter reaktif – berusaha mensyariahkan apa saja yang ada di kapitalisme mulai dari bank, asuransi, pasar modal, reksa dana dlsb.

Sebagaimana reaksi yang tidak bisa melebihi aksi, maka sulit sekali ES 1.0 mengalahkan kapitalisme yang di-reaksi-nya. Setelah kurang lebih dua dasawarsa ES 1.0 dikenal di negeri ini misalnya, pangsa pasarnya masih kurang dari 5 % dari pangsa pasar kapitalisme ribawi yang berusaha di respon-nya.

Walhasil dibutuhkan penyempurnaan ES 1.0 itu menjadi ES 2.0 untuk merubah karakter dari reaktif menjadi pro-aktif. Karena merupakan upaya untuk melanjutkan dan menyempurnakan, maka di ES 2.0 kita tidak lagi bicara berbagai bentuk aqad-aqad syariah dan produk-produk keuangan syariah yang sudah digarap di ES 1.0.

ES 2.0 bergerak di wilayah yang lebih mendasar yaitu bagaimana kegiatan ekonomi yang merupakan upaya pemenuhan kebutuhan manusia itu, dilakukan sesuai dengan petunjuk aslinya di Al-Qur’an , Hadits dan apa –apa yang sudah dilakukan oleh umat ini di masa-masa kejayaan Islam yang terdahulu.

Kita tidak lagi bicara tentang bank, asuransi, pasar modal, reksa dana dan sejenisnya sebagaimana di ES 1.0. Di ES 2.0, tetapi kita bicara tentang pengelolaan sumber daya alam, sumber daya insani, pasar, perdagangan, produksi, distribusi, pangan, air, energi dan hal-hal lain yang riil yang menjadi pemenuhan kebutuhan manusia.

Berikut adalah beberapa contoh kasus untuk mempermudah pemahaman tentang bagaimana kapitalisme bekerja, bagaimana ES 1.0 meresponnya dan bagaimana ES 2.0 proaktif mengatasi kebutuhan yang sama dengan cara yang secara mendasar berbeda.

Pangan, Energi dan Air

Kapitalisme menganggap bahwa sumber-sumber penghidupan yang pokok bagi manusia seperti pangan, energi dan air (FEW : Food, Energy and Water) itu terbatas, maka dia diperebutkan dengan modal dan kekuatan-kekuatan lainnya – siapa yang kuat dia yang mendapatkan.

Akibatnya pemodal besar menguasai lahan-lahan pertanian dan perkebunan yang luas, paten-paten bibit pertanian tanaman pangan di seluruh dunia, sumber-sumber energi, sumber-sumber mata air dlsb. sambil berharap dunia akan tergantung pada apa yang kini ada di genggaman tangan mereka.

ES 1.0 belum menyentuh urusan FEW ini secara mendasar, kalau toh mereka terlibat pada pembiayaan proyek-proyek yang terkait dengan pangan , energi dan air – mereka baru sebatas mendanainya dengan aqad yang benar secara syariah. Siapa yang didanainya, dan apa akibatnya bagi rakyat banyak yang tidak memiliki akses modal, akses sumber daya alam atau akses pasar – itu belum menjadi bahasan di ES 1.0.

ES 2.0 berpendapat bahwa sumber-sumber pemenuhan kebutuhan manusia seperti FEW itu disediakan oleh Allah secara sangat cukup di darat maupun di laut. Yang diperlukan adalah bagaimana menggali petunjuk ilahiah atas sumber-sumber itu, kemudian meng-eskplorasi-nya dengan segenap ilmu pengetahuan yang ada. Kemudian akses terhadap modal, ilmu pengetahuan dan sumber daya alam yang ada harus dijaga menjadi milik bersama bukan hak khusus segelintir orang saja atau privilege of the few.

Bila si kapitalisme berusaha mengusai lahan-lahan pertanian dan paten-paten tanaman pertanian untuk padi, gandum dan sejenisnya, kemudian menguasai ekonomi negeri-negeri kaya minyak, mengusai negeri kaya akan sumber air bersih – maka ES 1.0 meresponnya dengan membiayai kegiatan-kegiatan mereka dengan perbankan syariah, mengumpulkan modal untuk mereka dengan pasar modal syariah dan menjamin resiko mereka dengan asuransi syariah.

ES 2.0 proaktif mencari petunjuk ilahiah dari Qur’an dan hadits untuk menjawab dimana atau apa sumber-sumber pangan itu, sumber-sumber energi itu dan bagaimana mengelola air yang jumlahnya tetap di muka bumi ini tetap available bagi seluruh penghuninya. Tidak berhenti pada tataran ilmu, tetapi ilmu yang digali harus menjadi landasan amal nyata dalam kegiatan sektor-sektor riil yang secara konkrit mampu memproduksi berbagai sumber pangan dan energi alternatif dan mampu menjaga ketersediaan air bersih untuk seluruh manusia sepanjang masa.

Pasar

Pasar bagi kapitalisme adalah harus dibuat sebebas mungkin – tetapi secara ironis harus mereka kuasai, sehingga tidak mengapa yang kuat menggencet yang lemah. Tidak mengapa jumlah orang miskin tambah banyak karena keterbatasan akses mereka untuk menaikkan taraf hidup melalui akses pasar. Tidak mengapa antar yang kuat saling curang mencurangi, saling tuntut menuntut – toh yang akan memikul bebannya adalah rakyat banyak pengguna produk-produk mereka.

ES 1.0 lagi-lagi belum menyentuh pasar, sebagian pelakunya malah kadang terjebak mendanai proyek-proyek kapitalisme atau kepanjangan tangannya yang berusaha menguasai pasar dan meng-exploitasi-nya untuk kepentingan para kapitalisme itu sendiri.

ES 2.0 bicara tentang tuntutan pada para pemimpin agar menteladani junjungan kita Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam sunnah beliau tentang pasar ini. Bagaimana beliau mendirikan pasar khusus yang sesuai dengan karakter syariat Islam bagi umatnya, bagaimana kemudian beliau sendiri menjadi Muhtasib – pengawas pasar sebelum kemudian diserahkan kepada sahabat beliau Umar bin Khattab dan seterusnya.

Intinya ada dua sunnah pasar yang diperjuangkan di ES 2.0 yaitu pertama para pemimpin umat harus mampu menyediakan pasar yang dibutuhkan umat, yaitu pasar yang dipagari dengan fala yuntaqashanna wala yudrabanna – tidak dipersempit dan tidak dibebani – agar semua orang punya akses yang sama terhadap pasar, agar tidak ada entry barrier bagi pedagang baru di pasar dan agar akses terhadap pintu-pintu kemakmuran itu merata dan terbuka untuk semua.

Yang kedua para pemimpin harus membentuk Hisbah (orangnya disebut Muhtasib) yaitu pengawas pasar, agar syariat jual beli diberlakukan di pasar, agar terjaga keadilan di pasar, agar tidak ada penipuan, kedhaliman, monopoli, penimbunan kebutuhan pokok, permainan harga dan hal-hal lain yang merusak pasar.

Perdagangan

Mirip dengan pasar, kapitalisme dunia berusaha menguasai perdagangan melalui berbagai cara. Dengan uangnya yang dibuat terus melemah agar mampu bersaing dengan negara lainnya, dengan berbagai paten dan standar yang menguntungkan yang kuat yang mampu mengurus segala macam persyaratan ini, dengan persyaratan permodalan usaha-usaha tertentu seperti bank, asuransi dlsb. yang sangat besar sehingga cengekraman akses modal hanyalah privilege of the view.

ES 1.0 berusaha merespon dengan mengikuti hal yang sama, baik dari sisi uangnya, standarnya, persyaratan modalnya dlsb. Yang membedakan adalah sambil memenuhi hal-hal yang sama tersebut, para pemain ES 1.0 juga berusaha memenuhi ketentuan syariah pada aqad-aqad-nya.

Bagaimana dengan ES 2.0 ?, di ES 2.0 kita menggali esensi perdagangan dari sumbernya yang asli – Al-Qur’an, Hadits dan sirah umat ini di masa kejayaannya. Al-Qur-an-nya memberi guidance tentang bagaimana menjadi pelaku perniagaan (businessman) yang unggul, yang meskipun dengan kemampuan terbatas tetapi Allah tetap memberi balasan yang lebih baik, Allah menambah pula karunianya dan juga rezeki tanpa batas sebagaimana ayat :

“(Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS 24:38)

Bagaimana ini bisa dicapai oleh para pelaku niaga muslim ?, dengan mengikuti syaratnya yang diuraikan di ayat sebelumnya yaitu :

“laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang.” (QS 24 :37).

Para pedagang yang tidak dilaikan dari mengingat Allah adalah para pedagang yang adil, yang tidak akan mengurangi timbangan, yang tidak mencurangi pembeli atau mitra dagangnya – yang takut pada suatu hari yang mengguncangkan hati dan mata.

Lalu hadits shahih yang diriwayatkan oleh hampir seluruh perawi bahwa inti dari perdagangan yang adil itu adalah barter antara benda riil dengan benda riil, antara benda yang memiliki nilai intrinsik dengan benda lain yang juga bernilai intrinsik - sebagaimana hadist berikut : “(Juallah) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (denga syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai”. (HR. Muslim).

Bagi yang sulit memahami hadits di atas, kalimat mulai dari ‘emas dengan emas’ …sampai ‘garam dengan garam’ adalah inti pelarangan riba dari perdagangan barang sejenis, sedangkan kalimat mulai dari ‘…jika jenisnya berbeda juallah sekehendakmu...’ adalah untuk transaksi pertukaran dari satu jenis barang dengan jenis barang lainnya atau dalam bahasa kita kini adalah ya barter !. Istilah apa lagi pertukaran antara gandum dengan kurma, kurma dengan garam dlsb selain istilah barter ?.

Ketika kemudian ada yang memudahkan perdagangan barter itu dengan uang (fulus) – transaksi pertukaran antara benda bernilai intrinsik dengan benda lain yang tidak bernilai intrinsik – tetapi hanya mewakili suatu nilai, sebagian ulama beranggapan inipun tidak mengapa digunakan – hanya tetap diperlukan timbangan atau hakim yang adil dalam penentuan nilai itu – inilah yang kemudian diingatkan oleh Imam Ghazali sekitar 470 tahun pasca kenabian bahwa timbangan yang adil dalam penentuan harga-harga itu hanyalah emas (Dinar) dan perak (Dirham).

Kemudian lagi ketika fulus sudah menggantikan hakim yang adil berupa emas dan perak, dan fulus dicetak berlebihan oleh penguasa yang tidak bertanggung jawab sehingga masyarakat yang dirugikan dengan naiknya harga barang-barang atau turunnya daya beli fulus yang dipegangnya (inflasi) – ulama seperti Ibnu Taimiyah-pun mengingatkan penguasa negerinya saat itu agar mereka tidak mencetak fulus (uang selain emas dan perak) melebihi kebutuhan transaksi di dalam negerinya – agar rakyat yang memegang fulus tersebut tidak dirugikan. Peringatan Ibnu Taimiyah ini diberikan sekitar 690 tahun pasca kenabian.

Kini sekitar 1400 tahun pasca kenabian, perdagangan barter itu ditinggalkan umat ini, hakim yang adil sebagai penilai barang-barang (emas dan perak) tidak digunakan dan fulus-pun dicetak secara tidak terkendali oleh seluruh penguasa di muka bumi. Walhasil, tidak ada lagi perdagangan yang adil itu ! negeri yang kuat mengeksploitasi negeri yang lemah, kemudian di dalam masing-masing negeri – pelaku pasar konglomerasi kapitalisme juga mengeksploitasi yang lemah untuk kepentingannya sendiri.

Inilah antara lain tugas berat dan besar itu, tugas untuk mengembalikan perdagangan yang adil dengan barter, atau kalau tidak barter karena dianggap kurang praktis di jaman modern ini setidaknya harus ada timbangan penentu harga-harga yang adil yaitu emas atau perak, kalau inipun tidak – maka harus ada yang mengingatkan penguasa negeri agar tidak mencetak fulus dari awang-awang secara berlebihan, kalau yang terakhir inipun tidak – maka tidak ada cara lain lagi untuk menjaga perdagangan yang adil itu.

Karena ini pekerjaan berat dan besar yang belum tentu bisa sempurna dan tuntas di usia kita ini, maka bisa jadi nantinya harus disempurnakan oleh generasi-generasi berikutnya dengan ES 3.0 ; ES 4.0 dan seterusnya. Ini hanyalah langkah kecil yang harus dimulai untuk menempuh perjalanan yang sangat panjang dan berat itu…InsyaAllah.

Kategori : Ekonomi Makro Monday, 31 December 2012 16:32 Oleh : Muhaimin Iqbal