Setelah tulisan saya sebelumnya dengan judul “Makan Apa Kita Nanti ?”,
ada yang menggelitik saya untuk menulis lanjutannya yang tidak kalah
pentingnya yaitu tulisan yang berjudul “Bekerja Apa Kita Nanti ?” ini.
Secara umum makanan kita sangat erat hubungannya dengan pekerjaan kita.
Karena orang harus bekerja untuk bisa makan, maka dalam suatu ecosystem
perekonomian – harus ada pekerjaan cukup agar masyarakatnya juga bisa
makan cukup. Solusi kecukupan pangan tidak bisa lepas dari solusi
kecukupan lapangan kerja.
Saya
agak miris ketika Komite Ekonomi Nasional(KEN) kita baru-baru ini
mengusulkan bahwa untuk mengatasi pangan kita kedepan, kita harus
mencari lahan diluar Indonesia katanya - lihat berita lengkapnya di Detik Finance (13/03/2013).
Silahkan para ekonom yang ahli memperdebatkannya, tetapi menurut saya
solusi yang konon di berita tersebut sudah sampai ke Presiden R.I. ini –
bisa berdampak luar biasa pada kehilangan lapangan kerja di Indonesia.
Saat
ini ada sekitar 42 juta orang Indonesia bekerja di sektor pertanian
dalam arti luas – termasuk peternakan dlsb. Jumlah ini mewakili sekitar
36 % dari angkatan kerja produktif di negeri ini. Lantas apa jadinya
bila rencana KEN tersebut jadi dilaksanakan , Indonesia akan bertanam
padi di Laos dan Myanmar, akan beternak sapi di Australia dan New
Zealand. Logika mereka adalah karena lahan kita tidak mencukupi, maka
menggunakan lahan orang lain tersebut yang paling masuk akal mereka.
Satu
masalah mungkin teratasi yaitu produksi beras dan daging, tetapi yang
harus dipikirkan adalah apakah rakyat bisa membeli beras dan daging yang
diproduksi di luar negeri tersebut ?. Oh gampang solusinya, masih di
berita tersebut – produksi beras dan daging tersebut meskipun secara
fisik diproduksi di luar negeri – dianggap produksi dalam negeri , tidak
dianggap produk impor – mungkin maksudnya agar bebas pajak impor dlsb. ?
Saya
tidak tahu, mungkin saya yang bodoh sehingga sulit memahami logika
mereka ini. Kita invest di negeri orang – yang dipakai adalah uang kita,
bisa dari pajak kita atau uang tabungan masyarakat kita di bank-bank,
untuk memakmurkan negeri orang, memberi lapangan kerja di negeri orang,
kemudian produknya kita anggap sebagai produk kita, bebas masuk di
negeri kita (tanpa pajak impor ?), produknya akan bersaing head to head dengan semua jerih payah petani di negeri sendiri ?
Siapa
yang diuntungkan oleh konsep ini ?, tentu para konglomerat yang bisa
menanam padi di Laos dan Myanmar, bisa beternak sapi di Australia dan
New Zealand kemudian bebas memasukkan produknya ke Indonesia hanya
karena dilabeli produk dalam negeri. Sedangkan mayoritas rakyat negeri
ini tentu tidak sampai pikirannya untuk bisa bertani dan beternak di
luar negeri tersebut - membayangkannya-pun mungkin tidak !
Ini blunder ekonomi sejenis yang pernah dilakukan Orde Baru dengan program Mobnas-nya. Produk yang diimpor bulat-bulat dari negeri asing, ujug-ujug menjadi produk lokal hanya karena disulap mereknya menjadi merek local.
Kita
memang krisis produksi kedelai, daging sapi dan kini bawang
putih-bawang merah. Tetapi lantas tidak berarti krisis ini diatasi
dengan sepihak hanya pada krisisnya itu sendiri, tanpa berfikir luas
tentang kesejahteraan secara keseluruhan rakyat negeri ini – khususnya
dalam kontinyuitas ketersediaan lapangan kerja.
Negeri
ini juga bukan negeri tanpa harapan sehingga kita harus mencari yang
dimiliki oleh orang lain. Tidak usah jauh-jauh, kita bisa belajar dari
sukses kita sendiri. Pengamalan kelapa sawit misalnya bisa menjadi
rujukan.
Sawit
yang awalnya bukan tanaman asli Indonesia, awalnya didatangkan oleh
Belanda dari Afrika Barat hanya empat benih. Kini Indonesia merupakan
produsen sawit terbesar dunia dengan produksi lebih dari 20 juta ton.
Karena tingkat pertumbuhan produksinya yang mencapai rata-rata 12% per
tahun selama 40 tahun terakhir, jauh melebihi rata-rata pertumbuhan
penduduk yang hanya 1.8% per tahun pada rentang waktu yang sama – maka
Indonesia juga memiliki ekses produksi yang bisa diekspor ke berbagai
negara lain yang jumlahnya semakin besar.
Terlepas
dari pro kontra tentang sawit ini, bahwa yang mendapat manfaat maksimal
juga masih para konglomerat – tetapi ada hal yang layak menjadi
pembelajaran bangsa ini. Bahwa ada sumber daya yang cukup, yang bisa
lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri bahkan juga untuk
kepentingan ekspor. Tinggal menggunakan contoh yang sama dengan
diperbaiki jenis komoditinya dan struktur kepemilikan usahanya.
Solusi
apapun menurut saya intinya kita harus berfikir meng-optimalkan potensi
dalam negeri ini, sambil terus mensejahterakan rakyat negeri ini dengan
lapangan kerja yang cukup. Bila lapangan kerja cukup, penghasilan cukup
– maka insyaallah makanan juga akan terjangkau.
Sebaliknya
bila makanan itu dihadirkan dengan memakmurkan negeri lain, menyaingi
lapangan kerja sejenis di dalam negeri – apa yang terjadi ?. Ketika
beras-beras Laos dan Myanmar tersebut datang, ketika daging-daging sapi
Australia dan New Zealand datang – rakyat kita sudah klepek-klepek karena kehilangan pekerjaannya bahkan jauh sebelum kedatangan beras dan sapi asing bermerek lokal tersebut.
Rakyat
kita insyaAllah sudah cerdas, maka program Mobnas-pun kandas. Apakan
pemerintah beserta para penasihatnya di KEN akan mengulangi kesalahan
yang sama ? semoga saja tidak, agar kita semua tetap bisa bekerja dan
mampu membeli makanan kita ! InsyaAllah.
- Details
- Kategori : Entrepreneurship
- Published on Monday, 18 March 2013 00:03
- Oleh : Muhaimin Iqbal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar