Laman

Kamis, 04 November 2010

Peluang & resiko bisnis kontruksi


ADHI: Antara Pertumbuhan dan Risiko

Perkembangan infrastruktur Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara ASEAN. Kondisi ini menjadi cukup dilematis, terlebih tuntutan globalisasi dan perdagangan bebas semakin meningkat. Keseluruhan kebutuhan dana investasi infrastruktur sepanjang tahun 2010-2014 diperkirakan mencapai hampir Rp 2000 triliun, suatu nilai yang cukup besar. Beberapa infrastructure summit yang dilakukan pemerintah masih kurang mendapat respon dari investor. Sebagaimana diketahui, perusahaan-perusahaan yang ada dalam bisnis di indusrtri infrastruktur dan konstruksi mengalami risiko bisnis yang cukup besar dan karakter pengembalian investasi yang panjang.
Total nilai kue pasar konstruksi 2009 sekitar Rp 170 triliun, dan pada tahun 2010 diperkirakan nilai pasar konstruksi akan meningkat sekitar 8%-10%. Hal ini menunjukkan bahwa proyeksi tahun 2010 pertumbuhan pasar konstruksi akan kembali normal seperti pada tahun 2003-2007. Perkembangan sektor konstruksi dan infrastruktur memberikan peluang yang besar bagi PT Adhi Karya Tbk (ADHI)  sebagai salah satu perusahaan kontraktor besar dan mampu menembus pasar luar negeri.
Kinerja Keuangan: Pertumbuhan dan Risiko Bad Debt
Penjualan perusahaan sejak tahun 2002 hingga tahun 2008 terus meningkat, dengan rerata pertumbuhan tahunan (CAGR) sebesar 27,36%. Hal ini menunjukkan perusahaan mampu terus mengembangkan bisnisnya. Penghasilan perusahaan terutama dibagi dalam tiga golongan jenis bisnis, yaitu construction services, EPC services, dan investment. Dalam bisnis construction services, perusahaan menggarap proyek-proyek infrastruktur dan pembangunan gedung. Dalam bisnis EPC services, perusahaan mengerjakan proyek-proyek pembangkit tenaga listrik dan konstruksi untuk industri minyak dan gas. Sedangkan bisnis investment adalah investasi pada anak-anak perusahaan yang bergerak dalam bidang properti, konstruksi, dan perdagangan. Penghasilan perusahaan sekitar 90% masih dikuasai oleh construction services.
Peningkatan penjualan tahun 2008 dibandingkan tahun sebelumnya sebesar 33,50%. Sebaliknya keuntungan bersih menurun sebesar 26,99%. Penurunan ini disebabkan terutama oleh dua faktor, yaitu meningkatnya alokasi bad debt expense sebesar Rp 146 miliar dan beban risiko valuta asing terhadap laporan keuangan perusahaan sebesar Rp 12 miliar.


Alokasi bad debt expense terutama dari alokasi piutang perusahaan yang kemungkinan tidak dapat diperoleh, dan hilangnya nilai investasi pada suatu perusahaan. Salah satunya adalah terkait dengan proyek pembangunan monorail di Jakarta. Nilai proyek yang dilakosikan oleh perusahaan yang tidak dapat tertagih adalah sebesar Rp 26,7 miliar dan nilai investasi pada perusahaan PT Jakarta Monorail sebesar Rp 13,9 miliar (setara dengan 7,65% kepemilikan saham). Salah satu proyek lainnya yang mengalami permasalahan adalah pembangunan jembatan Dumai, dengan nilai piutang usaha yang dibebankan mencapai Rp 16,4 miliar.
Pada tahun 2009 keuntungan perusahaan diperkirakan akan meningkat sekitar 40%-50% dari keuntungan bersih tahun sebelumnya. Meningkatnya keuntungan ini selain dari peningkatan pendapatan perusahaan juga terkait dengan telah dialokasikannya bad debt expense yang signifikan pada tahun sebelumnya. Diharapkan tidak timbul lagi hal-hal seperti ini pada laporan keuangan 2009 maupun pada perkembangan bisnis perusahaan ke depannya.
Sementara itu, kinerja keuangan perusahaan berdasarkan laporan keuangan kuartal III 2008 menunjukkan peningkatan penjualan dan keuntungan bersih. Masing-masing sebesar 32,65% dan 22,99% dibandingkan periode yang sama tahun 2007. Namun keuntungan operasional menurun sebesar 15,71%.
Kinerja Pasar: Penurunan Kinerja dan Tingginya Fluktuasi Harga
Berdasarkan pengamatan CAPITAL PRICE, kinerja pasar perusahaan terus mengalami penurunan sejak tahun 2005. Data Capital Market Trends menunjukkan PER dan PBV terus menurun tajam sepanjang tahun 2005 hingga 2009, demikian pula shareholder market value added (SMVA). PER, PBV, SMVA perusahaan pada 2005 tercatat masing-masing sebesar 22,64 kali, 4,83 kali, dan 382,93%. Kemudian pada 2009 tercatat 6,43 kali, 0,91 kali, dan minus 8,74%. Hal ini menjadi kontras apabila dibandingkan dengan pertumbuhan perusahaan, baik dari penjualan maupun keuntungan. Terlebih apabila diperhatikan ROE perusahaan cenderung stabil sepanjang tahun pengamatan, kecuali tahun 2008.


Harga saham perusahaan sangat fluktuatif. Sepanjang tahun 2004 hingga 2009 pergerakan harga saham perusahaan berada pada kisaran Rp 400 – Rp 1600, suatu kisaran yang sangat lebar. Harga saham perusahaan memiliki volatilitas yang cukup tinggi dengan rerata nilai deviasi standar berada di atas 60%, bahkan pernah mencapai lebih dari 100%. Risiko pasar perusahaan (diwakili oleh beta) menunjukkan rerata angka dikisaran 1,5-2,0; suatu nilai yang juga cukup tinggi.
Berdasarkan penjelasan kinerja keuangan dan kinerja pasar, seolah-olah kinerja pasar saham perusahaan kurang memiliki hubungan yang selaras dengan fundamental perusahaan. Tetapi, antara kinerja keuangan dan kinerja pasar perusahaan sama-sama mencerminkan risiko yang tinggi. Salam Investasi!

Sling yang Nyaris Putus
Hardy R. Hermawan, M. Al Azhari, Nurul Kolbi, dan Syarif Hidayat   Inilah anehnya Indonesia. Sudah tahu kalau negeri ini lemah dalam daya saing, eeh malah nekat ikut-ikutan terlibat dalam liberalisasi. Padahal, lawan-lawan dari negara asing yang bakal dihadapi memiliki bobot dan kualitas yang jauh lebih hebat. Makanya, tak kaget kalau pebisnis nasional makin belingsatan menghadapi rivalitas dengan sejumlah gergasi asing tadi.

Semakin aneh lagi ketika ada pejabat pemerintah yang menjadi cemas dengan serbuan asing-asing tersebut. Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto, misalnya. Pekan silam, Menteri Djoko tampak sangat khawatir ketika mengatakan bahwa pengusaha konstruksi nasional semakin tidak berdaya dan sulit bersaing. Sementara, liberalisasi sudah di depan mata. Para kontraktor asing telah bersiap-siap masuk ke Indonesia. Menteri Djoko mungkin lupa, sebelum liberalisasi itu dicanangkan, para pebisnis domestik sudah diperkirakan bakal terkapar dibuatnya.


Pemerintah sendiri mulai menyuarakan adanya liberalisasi jasa konstruksi pada saat adanya Konferensi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Jenewa, Februari silam. Jasa konstruksi merupakan satu dari tujuh sektor jasa yang bakal diliberalisasikan di negara-negara peserta WTO. Di Indonesia, memang ada kontraktor asing yang sudah beroperasi. Tapi, itu baru pada proyek-proyek tertentu yang memang belum bisa ditangani sepenuhnya oleh perusahaan lokal.

Pemberlakuan perdagangan bebas jasa konstruksi itu sendiri bakal dimulai tahun depan.
Nantinya, perusahaan asing bisa merambah ke seluruh lapisan sektor konstruksi. Jadi, selama beberapa bulan ke muka, para kontraktor lokal sepertinya bakal banyak mengalami masalah pada detak jantungnya.

Bukan apa-apa, kekuatan modal perusahaan asing memang jauh di atas kekuatan pengusaha lokal. Sulistijo Sidarto Mulyo dari Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi Nasional (LPJKN) pernah mengatakan bahwa hingga saat ini hanya ada 1% perusahaan konstruksi besar di Indonesia yang diperkirakan sanggup ikut dalam persaingan global. Betul, liberalisasi itu juga membuka peluang bagi perusahaan domestik untuk berekspansi ke luar negeri. Tapi, kalau di kandang sendiri saja kerepotan, rasanya sulit membayangkan banyak perusahaan lokal berjaya di mancanegara.

Sutjipto, Direktur Utama PT Wijaya Karya, juga mengakui perusahaan pelat merah yang dikomandaninya selalu kalah bersaing dalam tender di luar negeri. Jangankan menghadapi perusahaan Jepang, Eropa, atau Amerika, bersaing dengan kontraktor Malaysia saja, Wijaya Karya acap sempoyongan.

Sudah begitu, penguasaan teknologi yang dimiliki perusahaan domestik juga masih di bawah perusahaan asing, terutama negara maju semacam Jepang, Amerika Serikat, atau Jerman. Di sini, perusahaan memang belum bisa memanfaatkan hasil kerja lembaga-lembaga riset secara optimal.
Kendalanya, lagi-lagi terletak pada permodalan.

Perusahaan asing yang bakal masuk ke Indonesia memang bukan perusahaan main-main. Syahdan, sudah ada sejumlah gergasi konstruksi dari 19 negara anggota WTO--yang berasal dari Eropa, Amerika, Australia, dan Asia--yang telah mengajukan permintaan untuk masuk ke pasar Indonesia ketika pintu liberalisasi dibuka. Jadi, bisa dibayangkan, berapa riuhnya pasar jasa ini kelak.

Celakanya pula, situasi moneter dalam negeri tengah selesma.
Tingkat BI rate kini sudah 12,75%. Artinya, suku bunga kredit (termasuk kredit konstruksi) jelas bakal terkerek. Joko Sarwono, Direktur Utama PT Bangun Cipta (salah satu kontraktor terkemuka), mengaku bahwa bunga kredit konstruksi itu bisa mencapai 20%. Makanya Joko sekarang lebih sering terlihat memelas. “Lha, kalau saya harus mengembalikan bunga sampai 20%, lalu berapa margin keuntungan yang bisa saya dapat?” katanya.

Sudah begitu, para bankir juga cenderung masih khawatir bila menyalurkan dananya ke bisnis konstruksi. Di mata para bankir, risiko bisnis konstruksi kelewat tinggi. Kalaupun ada pendanaan perbankan terhadap proyek konstruksi, biasanya lamanya kontrak relatif pendek, berkisar satu sampai dua tahun.


Terpaksa Harus Tiarap

Lembaga keuangan lainnya—seperti dana pensiun dan asuransi--hanya memiliki simpanan yang terbatas. Jadi, sulit mengharapkan lembaga-lembaga keuangan itu mau menyalurkan dananya dalam jumlah yang besar ke bisnis konstruksi nasional. Makanya Joko pusing jika para pemain asing tadi sudah bisa diperbolehkan bermain di segala sektor konstruksi. Apalagi, selain modalnya kuat, kontraktor asing juga jarang mengalami masalah suku bunga. Joko punya kisah, mitra usahanya dari Jepang hanya memiliki kewajiban membayar bunga sebesar 0,05%. “Bisa mendapat margin 1% dari nilai proyek saja sudah bisa mereka ambil,” ujarnya.

Belum lagi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang nilainya kebangetan. Melonjaknya harga solar industri--dari sekitar Rp 1.600-an di awal tahun menjadi sekitar Rp 4.500-an saat ini--memang bukan main-main. Soalnya, untuk sejumlah proyek konstruksi, solar sangat diperlukan, apalagi untuk pengerjaan jalan dan proyek-proyek nonbangunan lainnya.

Itu sebabnya Joko terpaksa membuat langkah ultradefensif menghadapi tahun 2006. Saat ini, ia sudah mengurangi jumlah buruh kontraknya dari 10 ribu orang menjadi separuhnya. Tidak itu saja, Bangun Tjipta bahkan sekarang juga tak berani sembarangan ikut tender. “Kami tiarap,” ujarnya.

Nah, kalau perusahaan sekelas Bangun Tjipta--yang proyeknya tersebar dari ujung utara Sumatra sampai Papua—saja sampai tiarap seperti itu, lantas bagaimana dengan perusahaan lain yang ukurannya lebih kecil? Boleh jadi, nasibnya akan lebih mengenaskan. Padahal, jumlah pemain konstruksi di Indonesia terbilang sangat banyak. Tak kurang dari 100 ribu perusahaan terdaftar di sejumlah asosiasi. Dari jumlah itu, sebanyak 97% merupakan perusahaan pelaksana konstruksi. Sisanya, sebanyak 3.000 perusahaan, bergerak pada jasa konsultasi dan perencanaan konstruksi.

Adapun pemain asing yang sudah resmi terdaftar di Indonesia tercatat sebanyak 123 perusahaan. Sejauh ini, jumlah perusahaan asing memang tampak begitu besar dengan proyek-proyek yang memang tak mampu dikerjakan pemain lokal.

Sayang, memang. Padahal, pangsa pasar jasa konstruksi sungguh aduhai. Tahun 2002 silam, pangsa itu masih berada di kisaran Rp 88 triliun. Namun, setahun berselang, nilainya sudah berkembang menjadi sebesar Rp 150 triliun. Pada tahun 2004, angka itu merangkak naik lagi hingga mencapai Rp 170 triliun. Ke depan, sudah pasti nilai tadi akan kembali membengkak. Soalnya, pemerintah sudah mencanangkan akan mengerjakan proyek infrastruktur senilai Rp 600 triliun hingga lima tahun ke muka. Jadi, setiap tahun, dari pemerintah saja akan ada proyek sejumlah Rp 120 triliun. Proyek konstruksi lainnya yang berupa pemulihan kawasan Aceh dan Sumatra Utara yang masih luluh lantak terhantam gempa bumi dan tsunami, juga terus berjalan.

Proyek-proyek pemerintah tadi juga membuat PT Adhi Karya masih bisa menarik napas lebih panjang.
BUMN yang satu ini memang mendapat sebagian dari proyek tersebut. Selain itu, ada juga proyek swasta yang sudah berada dalam genggaman dan siap mereka kerjakan. Tahun ini, laba bersih Adhi Karya diperkirakan bakal mencapai Rp 70,3 miliar. Nah, tahun depan, Adhi Karya berani menargetkan kenaikan laba bersih hingga 25% ketimbang tahun ini.
Tapi, seorang analis membisikkan bahwa setelah proyek-proyek pemerintah itu usai dan Adhi Karya harus bertarung dengan pemain mancanegara, maka diperlukan kerja ekstrakeras untuk bisa mempertahankan prestasi tadi.

Jadi, wajar jika dikatakan bahwa nasib industri jasa konstruksi nasional saat ini ibarat tengah tergantung pada kawat sling yang nyaris putus.


MANAJEMEN RISIKO BISNIS KONSTRUKSI (Studi Kasus : Kontraktor Daerah Kota Padang)



ABSTRAK

Pada proyek-proyek konstruksi terdapat sangat banyak risiko dimana risiko-risiko tersebut sangat bervariatif. Pada manajemen risiko sangat diperlukan memberikan prioritas utama kepada risiko-risiko yang penting sebelum memulai sebuah proyek konstruksi. Selain itu, penting juga untuk menentukan alokasi risiko yang tepat agar dapat mengurangi kerugian biaya, waktu dan kualitas akibat risiko tersebut. Penelitian ini membahas pandangan mengenai tingkat kepentingan dan penanganan risiko pada proyek konstruksi, dalam kasus ini yaitu kontraktor sebagai pelaksana proyek yang datanya diperoleh dari hasil kuisioner yang dibagikan kepada perusahaan-perusahaan kontraktor di kota Padang. Hasil analisa dari perhitungan level risiko secara umum menunjukkan bahwa pada level risiko tidak didapatkan rangking level risiko yang mencapai skala untuk diklasikfikasikan risiko tinggi, hanya terdapat risiko sedang yakni risiko perubahan harga dan material (nilai 5,2) dan risiko birokrasi atau perizinan yang rumit (nilai 4,7). Sedangkan untuk penanganan risiko yang dihasilkan pada penelitian ini menunjukkan bahwa yang paling banyak digunakan adalah bentuk penangan risiko dihindari sebanyak 40 risiko dan bentuk penanganan risiko diterima sebagai biaya sebanyak 8 risiko.

Kata Kunci : Bisnis Konstruksi, Risiko, Manajemen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar