Laman

Kamis, 04 November 2010

Peluang & resiko bisnis kerupuk


BISNIS KERUPUK

Bagi sebagian orang, menyantap makanan tanpa kehadiran kerupuk terasa kurang. Makanan kecil renyah yang menjadi teman bersantap ini bila ditekuni, mendatangkan keuntungan tak sedikit.

Dari usaha kerupuk, H Badrun (50), berhasil menyekolahkan anak-anaknya hingga sarjana.

Sejak berusia 10 tahun, Badrun sudah bekerja di sebuah perusahaan kerupuk di Semarang mengikuti seorang majikan. Badrun hanya menyelesaikan pendidikan sampai kelas dua Sekolah Dasar. Selang beberapa tahun, selain bekerja di rumah diperbolehkan untuk ke perusahaan kerupuk.

Lima tahun Badrun belajar bisnis kerupuk. Mulai pengolahan bahan baku, produksi, hingga pemasaran semua dipelajari. Sehingga timbul keinginan Badrun membuat usaha kerupuk sendiri.

Pada 1979, saat berusia 20 tahun, Badrun memulai usahanya dan pindah ke Kudus. Bersama istrinya, dia pindah ke Kecamatan Jati. Bermodalkan beberapa ekor sapi, hasil kerjanya, bersama istri dan satu orang pekerja ia mulai merintis usahanya.

Badrun dan istrinya sendiri yang menawarkan aneka kerupuk matang ke warung dan toko. Sedangkan kerupuk mentah sebagian ia jual ke pasar atau dititipkan ke warung-warung.

Beberapa bulan berjalan, usaha berkembang dari rumah kontrakan menjadi pabrik kerupuk. Kini usahanya mempekerjakan 100 orang di bagian produksi, hingga pemasaran. Desa Ploso, Kecamatan Jati, Kudus, Jawa Tengah kini terkenal sebagai basis pembuatan berbagai jenis kerupuk.

Usai tiga dasawarsa, omzetnya kini beranak pinak. Badrun bisa meraih omzet Rp 150 juta atau Rp 1,8 miliar per tahun. Setelah malang melintang di sebagai produsen kerupuk, Badrun merambah usaha lainnya. Pria yang juga menyekolahkan semua anak-anaknya hingga perguruan tinggi ini memasok bahan baku kerupuk seperti tepung tapioka kepada produsen lainnya.

Untuk memenangkan persaingan dengan tumbuhnya industri kerupuk, Badrun punya strategi sendiri. Dengan memasok bahan baku ke produsen lain membuat produsen bergantung kepadanya. Jika pesaingnya tak mau, dia akan mendirikan pabrik di dekat pabrik kerupuk tersebut.

Sampai kini, Badrun memiliki 30 cabang seperti dari Jakarta, Jawa Barat hingga ke Jawa Tengah. Pemasaran utama kerupuknya adalah kota seperti Jakarta, Bogor, Bandung, Sukabumi, Cianjur, Bekasi, Tangerang, Cikampek, Banten, Purwakarta, Cirebon, Pemalang, Pekalongan, Brebes, Blora , Semarang, Rembang, dan Ngawi.

Setiap cabang ia percayakan kepada karyawan. Sedangkan pembukuan dan administrasi dipegang oleh anak-anaknya. Sejak 1990an, ia menjalankan usahanya di bawah kendali UD Ban.

Meskipun bisnisnya menggurita di berbagai kota, Badrun tak mau lengah soal kualitas. Sebagai pemain yang sudah 30 tahun bergelut dengan bisnis kriuk-kriuk ini, bagi Badrun kualitas terbaik merupakan kunci kepercayaan konsumen.

Ia tetap memilih bahan baku berkualitas seperti tapioka, terasi, dan garam. Badrun memodifikasi oven yang dipakai saat cuaca hujan, sehingga penjemuran tetap terjaga.

Setelah Pulau Jawa, ia kini tengah melebarkan usaha hingga ke Timur Indonesia. Bermacam jenis kerupuk mentah hasil produksinya kini juga bisa diperoleh di Kalimantan dan Papua.
hadi.suprapto@vivanews.com






Posted by editor | peluang, usaha | Wednesday 22 July 2009 2:10 pm
Adalah Eva Yunus, bermodal Rp 200.000, warga Palembang ini mampu mengembangkan usaha kerupuk kelempang, sering juga disebut kempelang, bermerek Eva Yunus.
Usaha keras dan semangat membara membuat usahanya mekar. Kini bisnis kerupuk kelempangnya mampu membawa omzet Rp 35 juta per bulan. Berarti, dalam setahun dia bisa mencatat omzet Rp 420 juta. Renyah kan?
Ketertarikan Eva untuk mulai berbisnis sebenarnya datang dari tekanan ekonomi yang mengimpit kehidupannya. Sebagai guru, gaji suami Eva tak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Dari situ saya menguatkan tekad menambah penghasilan,” ujar Eva yang mulai usaha sejak 1998.
Pilihannya jatuh pada usaha kerupuk. Selain modalnya tak besar, dalam hitungan Eva, keuntungannya lumayan. “Bisa sekitar 20 persen dari omzet,” ujar Eva. Ilmu perkerupukan dia pelajari dari orangtuanya yang pernah berbisnis pembuatan kerupuk kelempang.
Tanpa pikir panjang, Eva membeli semua peralatan pembuatan kerupuk milik orangtuanya yang sudah menganggur itu. Setelah itu, Eva membeli bahan-bahan pembuat kerupuk seperti tepung, ikan, dan bumbu. Namun,  dengan modal yang minim, uang Eva tak cukup.
Upaya meminjam dari kerabat mustahil sulit lantaran mereka juga kesulitan memenuhi kebutuhan rumah tangga masing-masing. Makanya, Eva meminta suaminya meminjam uang dari koperasi. Untuk melunasinya, gaji bulanan sang suami harus kena potong. “Tak mengapa, yang penting bisa usaha,” ujar Eva mengenang.
Namun memasarkan kerupuk kelempang hasil bikinannya ternyata tak semudah membalik telapak tangan. Maklum, banyak pemain kerupuk kelempang di Palembang. Tapi Eva tak menyerah. Dia tahu persis kerupuk kelempang adalah kudapan paling dicari oleh warga Palembang maupun pelancong. “Mencocol kerupuk ke sambal sambil nonton TV,” ujar dia.
Makanya, sasaran utama Eva adalah para tetangga dan sanak famili. Untuk itu, Eva menggelar dagangannya di emperan rumahnya sebagai etalase.
Agar berbeda dengan kerupuk kelempang lain, Eva mendongkrak kualitas rasa kerupuk bikinannya. Komposisi bahan ikan gabus dan tenggiri dia bikin lebih dominan ketimbang tepung. Perbandingannya, 1 kg ikan hanya menghasilkan 4 kg kerupuk mentah. “Dengan begitu, rasa ikan akan lebih terasa,” ujar Eva. Soal campuran bumbu, Eva enggan berbagi lantaran resep ini rahasia keluarga.
Tak puas hanya menjual kerupuk ke tetangga dan saudara-saudara, Eva berharap bisa menjual produknya lebih luas. Celakanya, dia tak punya modal lebih besar untuk mengembangkan usahanya.
Terpikir olehnya untuk berpromosi secara besar-besaran. Namun, kendalanya, dia tak punya modal. Padahal, dari promosi Eva yakin bisa mengembangkan usaha.
Eva pun menawarkan kerupuk kelempangnya ke acara-acara arisan, sunatan, hingga perkawinan. Tentu tak lupa dia menawarkan dagangannya ke toko-toko. “Dari situ, pesanan kepada saya mulai mengalir hingga sekarang,” ujar Eva.
Kini Eva hanya menjajakan kerupuk bikinannya di rumah, persisnya di Jalan KH A Azhari Lr Anten-Anten No 557 RT 165, Ulu Laut, Palembang. Rumahnya yang persis berada di pinggir jalan besar menjadi toko sekaligus pabrik kerupuk.
Dalam menjalankan usahanya, Eva mengaku tak banyak menarik untung. Baginya, kerupuk Eva Yunus jadi terkenal saja sudah cukup membuatnya senang. “Jika banyak pembeli datang, usaha saya terus berputar kan?” ujar Eva
Eva yakin, jika banyak konsumen mengenal dan mencicipi produknya, pasti sebagian di antaranya akan kembali datang. “Kualitas produk nomor satu untuk menarik pelanggan datang kembali,” ujar dia yakin.
Rajin berinovasi
Eva sadar betul, banyak pemain kerupuk kelempang sekarang ini. Namun, itu tak membuat dirinya patah arang menggeluti usaha ini. Selain tetap menjaga kualitas, Eva juga melakukan inovasi. Salah satunya dengan membuat kerupuk dalam bentuk kotak dan lonjong. Dengan varian bentuk seperti itu, Eva mengaku tak berani menambah harga jual. “Harga tetap sama meski bentuk beda,” ujar Eva berpromosi.
Yang membedakan harga hanya cara membuatnya. Kerupuk kelempang bakar lebih mahal lantaran saat pemanggangan kerupuk menjadi susut. “Kerupuk yang semula sekilo menjadi 8 ons,” ujar dia.
Eva juga menambah varian kerupuknya dengan menyediakan kerupuk tanjung. “Ini kerupuk langka dan hanya ada di saat pesta,” ujar Eva. Dia berani mengklaim bahwa hanya dirinya yang menjual kerupuk tanjung ini di Palembang.
Lalu lalang kendaraan yang berhenti di rumah Eva rupanya menarik minat PT Pupuk Sriwidjaya untuk menjadikannya sebagai mitra binaan. Gayung bersambut lantaran Eva juga berniat mengembangkan usahanya.
Pada 2003 Eva pun mengajukan proposal pinjaman ke Pusri. “Tak banyak, hanya Rp 9 juta,” tutur dia. Pinjaman berbunga 6 persen dengan masa pinjaman tiga tahun itu dia ambil untuk menambah jumlah pegawai.
Belum sampai pinjaman itu jatuh tempo, Eva sudah melunasinya. Lantaran itu pula, Pusri, sebutan populer BUMN penghasil pupuk itu, kembali memberikan persetujuan atas proposal pinjaman yang kedua. Kali itu Eva berani mengajukan kredit senilai Rp 20 juta untuk mengembangkan pabrik.
Seiring hubungan baik dengan Pusri, Eva kerap diajak mengikuti berbagai kegiatan pameran. Lewat pameran ini pula pesanan tak henti-hentinya mengalir kepadanya. Makanya, Eva kembali meminta tambahan modal ke Pusri. Nilainya sudah jauh meningkat, menjadi Rp 40 juta.
Tapi, Pusri pasang syarat: Eva harus membina para nelayan sebagai plasma. Nelayan yang dimaksud adalah para pemasok ikan tengiri dan gabus. Eva tak menganggap persyaratan itu sebagai persoalan. Dengan cara ini, dia justru merasa beruntung karena tak perlu lagi bersusah payah mencari bahan baku utama produksi kerupuknya.
Cuma, Eva juga tak asal main borong dagangan para plasmanya. Dia mematok persyaratan ketat bagi para nelayan binaannya. Hanya ikan-ikan segar yang dia terima sebagai bahan kerupuk kelempangnya. “Saya tak segan menolak jika ikan dari nelayan ternyata berkualitas jelek,” tandas Eva. Dengan cara ini, Eva tetap bisa menjaga kualitas dagangannya. (rahmat saepulloh/ktn


Tidak ada komentar:

Posting Komentar