Laman

Kamis, 04 November 2010

Peluang & resiko bisnis pendidikan


Bisnis pendidikan adalah bisnis yang paling menguntungkan

Pendidikan, sebagaimana konsultan, sebagaimana arsitek adalah usaha berbasis jasa. Tidak ada produk yang dihasilkan, jualannya adalah konsep, oret-oretan, saran dll dkk yang pada tingkat-tingkat tertentu terlihat sangat abstrak. Misalnya konsultan untuk strategi pemasaran, hasil oret-oretan mengenai bagaimana seharusnya perusahaan menjual barang bisa dihargai sangat mahal. Tapi bagaimana dengan dampaknya, apakah sebanding? bagaimana pengendalian mutunya? pada prakteknya hal ini sangat sulit untuk diukur.
Kemarin sewaktu pulang ke Cirebon, ada beberapa institusi pendidikan disekitar rumah, salah satunya adalah Yasmi (Yayasan Martha Indonesia) disekolah ini terdapat Akpar (Akademi Pariwisata), Akbank (Akademi Perbankan) dan D1, D2 Ekonomi. Agak miris melihat kondisi kampus yang sepi, mahasiswa yang tahun ini bisa belasan orang, tahun sebelumnya tidak ada, tahun depan tidak tentu ini.
Herannya, dengan kondisi dan kualitas pendidikan seperti ini, bisnis pendidikan tetap lancar. Tetap membuka penerimaan baru, tentunya dengan janji-janji lulusannya dimana.
Apr 12, '07 5:15 PM
by Ahmad for everyone
AHMAD GIBSON AL-BUSTOMI

SECARA teoretis tidak bisa disangkal bahwa biaya pendidikan atau penyelengaraan pendidikan sangatlah tinggi. Asumsi ini paling tidak hidup di benak kalangan profesional dan para ahli pendidikan. Semakin tinggi biaya pendidikan, semakin tinggi kualitas pendidikan.

Sepertinya asumsi ini perlu dipertanyakan ulang. Mungkin benar bahwa semakin tinggi biaya pendidikan semakin tinggi pula kualitas pendidikan, akan tetapi sulit dan mahalkah pendirian lembaga pendidikan? Pertanyaan itu pernah terlontar dalam sebuah obrolan sambil lalu yang tiba-tiba menjadi sangat serius. Seorang teman jebolan perguruan tinggi luar negeri menceritakan mahal dan rumitnya penyelenggaraan lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan tinggi. Yang lain mengungkap sejumlah sarat, prasarat, serta sarana yang mesti disediakan, secara teoretis tentunya. Pokoknya penyelenggaraan pendidikan tinggi bukan sesuatu yang bisa dilakukan sambil lalu.

Di tengan pembicaraan yang serius tersebut, tiba-tiba salah seorang teman tertawa terbahak-bahak. Ia bilang bahwa mendirikan lembaga pendidikan itu murah dan mudah. Cukup mempunyai yayasan dan beberapa lokal kelas. Bahkah, bila membangun lokal kelas masih dianggap terlalu mahal dan tidak ada dananya, bisa nebeng (ngontrak, sewa) lokal kelas dari sekolah yang ada. Kurikulum dan tetek bengek konsep sistem pendidikan yang akan didirikan tinggal menjiplak dari lembaga pendidikan yang telah berdiri. Praktis, mudah dan murah! Tidak perlu survei atau studi kelayakan segala macam. Mendirikan TK, sekolah dasar, sekolah menengah maupun perguruan tinggi, sama saja. Perbedaannya tidak seberapa! Urusan kualitas? Siapa yang peduli dengan kualitas, toh orang hanya peduli dengan ijazah! Dari pada ijazah palsu, mendingan ijazah yang asli kalau pun dikeluarkan oleh lembaga pendidikan yang bangunannya ngontrak!

Betulkah sedemikian murahnya mendirikan lembaga pendidikan? Ketika itu obrolan menjadi simpang-siur antara persolan penyelenggaraan lembaga pendidikan dengan bisnis pendidikan. Selama ini, wacana tentang bisnis pendidikan selalu dianggap tabu. Bahkan, tidak lama berselang, demo antibisnis pendidikan, bersamaan dengan itu media massa menyorot tajam persoalan tersebut yang didasarkan pada sejumlah indikasi. Yaitu tingginya biaya pendidikan yang disebabkan pengurangan subsidi pendidikan sebagai konsekuensi dari realisasi otonomi pendidikan.

Kini, dengan diterapkannya kebijakan otonomi pendidikan, yang semakin diperkecil dan akhirnya ditiadakannya dana (subsidi) pendidikan, secara konsekuensional bisnis pendidikan menjadi isu yang mengemuka dengan sendirinya. Dengan kata lain, pergeseran lembaga pendidikan sebagai lembaga sosial non-profit (nirlaba) menjadi lembaga yang mau tidak mau harus mempertimbangkan kemungkinan profit yang lebih besar. Bila tidak, ia akan mati dengan sendirinya, karena tidak bisa membiayai aktivitas pendidikannya. Persoalan ini, pada akhirnya bukan hanya berlaku bagi lembaga pendidikan swasta akan tetapi juga lembaga pendidikan negeri. Atau lebih tepatnya tidak ada lagi lemabaga pendiidkan (sekolah) negeri atau pun swasta.

Bisnis pendidikan, persoalan itu yang kemudian mencuat ke permukaan. Etiskah bicara dan menyelenggarakan bisnis pendidikan dalam keterpurukan bangsa ini. Atau lebih substansial lagi, etiskah bicara dan menyelenggarakan bisnis pendidikan? Atau, apakah aktivitas penyelenggaraan pendidikan layak dianggap sebagai barang jasa yang memiliki nilai ekonomi tinggi?

Bila pendirian lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh yayasan pendidikan dengan tanpa memiliki lembaga usaha yang menopang pembiayaan penyelenggaraan pendidikan tersebut, atau bahkan lembaga pendidikan itu sendirilah yang menjadi penopang dana yayasan tersebut, mana bisa kita menyebut bahwa dasar pendirian lembaga pendidikan bahkan pendirian yayasan tersebut sama sekali bersifat nirlaba, bukan bisnis.

Dengan kata lain, lembaga pendidikan tersebut bukan didirikan dan diselenggarakan sebagai dimensi sosial dari suatu perusahaan besar, melainkan lembaga pendidikan itu merupakan perusahaan itu sendiri. Dengan kata lain, pendirian lembaga pendidikan benar-benar didasarkan pada orientasi bisnis. Lebih tegas lagi, boleh disebutkan bahwa ada kemungkinan pendirian yayasan pendidikan tidak lebih sekadar kedok untuk mendirikan bisnis pendidikan. Kedok etik dan menghindari besarnya pajak yang harus dikeluarkan.

Ratusan ribu lebih lembaga pendidikan di Indonesia, dari mulai tingkat dasar hingga perguruan tinggi, namun berapa persenkah (bila ada) dari lembaga pendidikan itu didirikan sebagai "kerja" yayasan yang ditopang oleh perusahan besar? Katakan seperti funding (yayasan) yang didirikan oleh perusahaan raksasa. Maka wajar kalau pun ada, yayasan pendidikan yang benar-benar murni nirlaba, karena ia tidak memiliki sumber dana yang memadai, lembaga tersebut dengan terpaksa berjalan tertatih-tatih hidup dengan dana yang sangat minim dari SPP, atau sumbangan lain yang tidak tentu dan tidak seberapa.

Yayasan pendidikan seperti ini terlahir dari keprihatinan komunitas kecil yang didorong karena tidak ada atau minimnya sekolah di daerahnya. Atau, keprihatinan terhadap sistem pendidikan nasional yang tergambar dari kurikulumnya, yang meraka anggap terlalu barat dan tidak memanusiakan. Yayasan seperti ini biasanya didirkan oleh komunitas majelis taklim atau pesantren yang berada daerah, atau kota-kota kecil. Bukan bisnis.

Dengan demikian, kesadaran nilai penting dan vitalnya institusi dan sarana pendidikan bukan hanya sekadar disadari oleh masyarakat Indonesia, bahkan mereka ikut serta secara aktif menyelenggarakan lembaga pendidikan, yang kadang tanpa mempertimbangkan kelayakan dan standar "formal" pendidikan yang didirikannya. Hal tersebut bisa dimaklumi, karena pendirian lembaga pendidikan yang mereka lakukan lebih didasarkan pada kesadaran moral belaka, bukan didasarkan pada profesonalisme.

Bila menjamurnya penyelenggaraan pendidikan yang didasarkan pada orientasi bisnis, apalagi kecenderungan tersebut diperkuat oleh adanya gerakan otonomi lembaga pendidikan di mana setiap lembaga pendidikan (termasuk lembaga pendidikan negeri) dituntut untuk menghidupi dan membiayai diri sendiri, maka bisnis di sektor pendidikan bukan lagi merupakan sesuatu yang mesti dianggap tabu dan tidak etis.

Persoalannya bagaimana kode etik dan prinsip-prinsip bisnis di sektor pendidikan ini dirumuskan, sehingga tidak mengabaikan kualitas pendidikan. Bahkan, bagaimana logika bisnis sektor pendidikan ini dirumuskan di atas prinsip, penyelenggaraan pendidikan dengan biaya serendah-rendahnya dengan kualitas setinggi-tingginya, dan bukan sebaliknya.

Secara umum pengelola lembaga pendidikan, khususnya lembaga pendidikan negeri yang tidak memiliki pengalaman mencari, mengolah dan mengelola dana secara mandiri, benar-benar kelimpungan. Di satu sisi mereka membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk bisa survive, di sisi lain mereka berhadapan dengan beban etik dan fakta bahwa mereka sama sekali tidak memiliki pengalaman bisnis dan memasarkan lembaga pendidikannya.

Fenomena bisnis di sektor pendidikan pada akhirnya harus dilihat sebagai sebuah kemungkinan dan kesempatan yang positif, baik dari sisi praktis maupun sisi pengembangan khasanah teori-teori dan bidang ilmu pendidikan. Pada sisi praktis, bisnis ini memungkinkan lahirnya lapangan kerja yang profesional, baik pada bidang manajemen pendidikan, ekonomi pendidikan, pemasaran dan advertising dan lain sebagainya, serta akan meningkatkan kemampuan lembaga pendidikan tersebut untuk survive.

Dan secara akademik lahirnya cabang ilmu pengatahuan yang baru, yang berkenaan dengan kepentingan praktis tersebut menjadi mutlak adanya.
Dan untuk itu, diperlukan suatu kajian yang spesifik dalam bidang tersebut, dan bukan mustahil untuk didirikannya progran studi yang relevan. Dengan adanya komunitas profesional dalam bidang tersebut, maka lahirnya kecenderungan dan tuntutan bisnis atau wirausaha dalam sektor pendidikan sedikit banyaknya bisa dipertanggungjawabkan secara akademis dan profesional.

Dengan demikian perguruan tinggi dan fakultas pendidikan memungkinkan untuk melebarkan sayapnya ke wilayah yang lebih luas. Bukan hanya berkisar pada persoalan proses, sarana dan metode pendidikan serta persoalan konvensional lainya, akan tetapi juga bisa berbicara pada wilayah yang lebih luas dan menjanjikan. Studi di fakultas atau perguruan tinggi bidang pendidikan bukan hanya sebatas untuk menjadi guru atau ahli dalam bidang pendidikan (dalam pengertian konvensional), akan tetapi juga menjadi ahli ekonomi, bisnis dan manajemen pendidikan yang memiliki peluang dan keahlian untuk membangun suatu industri pendidikan yang memiliki peluang ekonomi yang lebih menjanjikan.

Civitas akademika sebuah lembaga pendidikan yang selama ini sering dipandang sebagai insan pengabdi (komunitas dan masyarakat Umar Bakri) yang dianggap berseberangan dengan kepentingan-kepentingan untuk meningkatkan taraf ekonomi yang layak, bukan mustahil mampu menyejajarkan dengan komunitas wirausahawan (pelaku bisnis). Dengan meningkatnya taraf hidup mereka, "barangkali" bisa diharapkan pengabdian dan profesionalisme Umar Bakri ini meningkat karena mereka bisa lebih concern dengan profesinya, tidak perlu mencari tambahan dari kiri dan kanan. Insya Allah.***



Mendefinisikan Perguruan Tinggi Idaman

Mendefinisikan perguruan tinggi idaman, rangkaian kata yang terlintas tidak jauh dari kelulusan Sekolah menengah atas. Kata itu juga pernah terlintas dalam pikiran saya ketika menginjak bangku kelas 3 SMA dulu, dan juga kata itu sering disebut oleh teman-teman SMA ketika menginjak kelas 3, apalagi ketika sudah mendekati kelulusan. Begitupun siswa sekarang ketika mendekati ujian kelulusan pasti banyak terlintas tentang prguruan tinggi terbaik.

Siswa yang lulus dari SMA masih bayak yang bingung untuk memilih kemana setelah lulus nanti, langsung mencari kerja atau melanjutkan ke perguruan tinggi. Berbicara memilih perguruan tinggipun masih banyak yang bingung harus memilih kemana, memilih jurusan apa yang cocok dan baik pada universitas idaman nanti.

Siswa yang lulus dari SMA dan sederajat yang akan melanjutkan ke perguruan tinggi negeri atau perguruan tinggi swasta idaman haruslah mempertimbangkan dengan matang.Perguruan tinggi memiliki materi dan sistem pembelajaran yang berbeda, sehingga dalam memilih jurusan kuliah pun harus mempertimbangkan berbagai hal.

Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan para siswa yang telah lulus SMA dalam memilih perguruan tinggi favorit Indonesia. Sebelum memilih perguruan tinggi terbaik, carilah informasi sebanyak mungkin tentang gambaran dari berbagai macam perguruan tinggi negeri favorit Indonesia maupun perguruan tinggi swasta favorit Indonesia, misalnya Universitas Islam Indonesia. Informasi itu cukup mudah diperoleh, misalnya : teman,saudara,tetangga,brosur,internet dan lain-lain. Dengan mencari informasi yang banyak bisa lebih mudah dalam memilih perguruan tinggi dan jurusan yang tepat bagi siswa. Setelah mendapatkan informasi tentang perguruan tinggi , barulah siswa menentukan perguruan tinggi idaman yang akan dijalani,tetapi tetap mempertimbangkan berbagai hal, diantaranya:
  1. Ukur kemampuan, dengan mengukur kemampuan diri siswa tidak akan salah memilih untuk menempati perguruan tinggi idaman dan tidak akan menyesal di kemudian.
  2. Minat,Bakat dan Cita-cita, dalam memilih jurusan di perguruan tinggi idaman sesuaikan bakat, minat dan cita-cita yang menuju profesi atau pekerjaan yang diinginkan.
  3. Tempat dan Biaya, pertimbangkan dalam memilih perguruan tinggi idaman dengan melihat kemampuan ekonomi masing-masing. Janganlah memaksakan diri dalam memilih perguruan tinggi idaman yang biaya kuliah tidak sesuai dengan kemampuan, karena nantinya bisa beresiko putus ditengah jalan. Dan pilihlah tempat perguruan tinggi yang juga tidak memberatkan ketika kuliah nanti, pilih kota yang biaya hidup rendah atau sesuai dengan kemampuan, kalau perlu pilih yang lebih dekat dengan tempat tinggal
  4. Profesi atau Pekerjaan, dalam memilih perguruan tinggi idaman haruslah melihat kedepan setelah lulus nanti, apakah jurusan dan perguruan tinggi tersebut bisa mendukung untuk mendapatkan pekerjaan yang baik. Walaupun latar belakang jurusan maupun perguruan tinggi tidak mutlak mempengaruhi dalam memperoleh pekerjaan, namun bisa juga menjadi bahan pertimbangan, karena para alumni yang sudah sukses akan mempertimbangkan juga kepada juniornya dalam memilih karyawan baru.
Dengan mempertimbangkan beberapa hal diatas, mungkin bisa dijadikan referensi dalam memilih perguruan tinggi idaman, sehingga siswa tidak salah dalam mendefinisikan perguruan tinggi idaman dan bisa tepat dalam memilih perguruan tinggi nanti.

Artikel By Hobi Bisnis untuk Lomba Blog UII




STIE-Bisnis Indonesia
Terimakasih anda telah mempertimbangkan STIE-Bisnis Indonesia sebagai salah satu tujuan pendidikan tinggi Anda. Dengan belajar di STIE-Bisnis Indonesia, Anda akan menjadi bagian dari sistem pendidikan yang dinamis, dan berwawasan global, sesuai dengan visi dan misi kami yaitu “Menjadi Sekolah Tinggi Bisnis bertaraf nasional dan international dalam lingkup ASEAN, serta menyelenggarakan pendidikan tinggi di bidang bisnis secara ilmiah dan professional untuk memenuhi kebutuhan dunia bisnis dalam lingkup nasional dan international.

Didukung oleh tenaga pengajar yang professional dan kompeten di bidangnya, serta didukung oleh fasilitas perkuliahan yang lengkap dan nyaman, seperti lab.komputer, fasilitas internet, perpustakaan dan lain-lain, serta kurikulum yang dirancang sesuai dengan kondisi real di dunia kerja, maka STIE-Bisnis Indonesia sebagai institusi pendidikan siap untuk menghasilkan dan mengembangkan lulusannya sebagai sosok eksekutif perusahan maupun pelaku bisnis yang mampu menghadapi kompleksitas perubahan ditingkat nasional, regional, maupun global. Yang sesuai dengan motto : “STIE-Bisnis Indonesia for Your Better and Brighter Future”

STIE-Bisnis Indonesia berkomitmen dalam pengembangan dan penyusunan program perkuliahan, yang didesain untuk mengakomodasi kebutuhan nyata dunia bisnis yaitu metode analisa dan keterampilan manajerial untuk melakukan analisa, identifikasi dan pemecahan masalah bisnis serta pengembangan sikap mandiri dan kemampuan kerjasama sehingga lulusannya mampu mengaplikasikan ilmunya ditempat kerja maupun berwira-usaha.

Selain itu STIE-Bisnis Indonesia juga memiliki LPPM dan Research Center serta Lembaga Penerbit yang secara rutin menerbitkan Jurnal Ilmiah yang sangat membantu mahasiswa dalam mengikuti program perkuliahan.

Kami berharap Anda mempertimbangkan untuk bergabung dengan Institusi STIE-Bisnis Indonesia dan merasakan atmosfir dan lingkungan kuliah di kampus kami yang dinamis dan inovatif dan menikmati fasilitas perkuliahan yang kami tawarkan.

Bisnis Perguruan Tinggi Kelas Dunia

Informasi tentang perguruan tinggi di Indonesia yang masuk perguruan tinggi kelas dunia seperti ITB, UI dan UGM cukup membesarkan hati. Walau masih berkutat pada ranking ratusan tapi ini menjadi modal dasar motivasi untuk bisa menjadi perguruan yang lebih baik di dunia. Ranking 90-an sudah dicapai ITB untuk kategori perguruan tinggi bidang IT dan rekayasa. Ini tentu sangat membanggakan.
Secara keseluruhan, ranking perguruan tinggi di Indonesia masih jauh dari daftar ranking dunia. Ini artinya kualitas perguruan tinggi di Indonesia belum merata. Tapi ada fenomena menarik dari dikeluarkannya daftar ranking perguruan tinggi di dunia dari berbagai lembaga survei dengan bermacam-macam cara penilaian. Sah-sah saja mereka melakukan ini, tapi apakah kita semua sadar dan paham bahwa maksud dari perankingan ini sebenarnya tidak jauh dari kata bisnis.
Iya, bisnis perguruan tinggi kelas dunia. Tanpa kita sadari, masyarakat dunia digiring pada persepsi bagaimana memilih perguruan tinggi kelas dunia. Ini tentu saja sangat menguntungkan perguruan tinggi yang masuk ranking dunia, apalagi bagi perguruan tinggi papan atas. Oleh sebab itu dari sisi bisnis, pemerintah Indonesia khususnya mesti termotivasi dengan adanya sistem perankingan ini. Ini terkait dengan anggaran pendidikan. Semakin tinggi anggaran pendidikan bagi perguruan tinggi di Indonesia maka semakin besar tercipta perguruan tinggi kelas dunia.
Rencana kenaikan anggaran pendidikan mulai anggaran tahun 2009 menjadi 20% akan menjadi titik awal untuk ‘merekrut’ perguruan tinggi selain ITB, UI dan UGM untuk segera berbenah diri. Berbenah di segala lini aktifitas akademik sehingga kualitas perguruan tinggi bersangkutan akan dicap berkualitas kelas dunia. Jika perlu, DIKNAS membentuk komisi pendidikan nasional yang bertugas untuk membuat ‘road map’ perguruan tinggi kelas dunia. Ada target-target terukur sehingga suatu perguruan tinggi dapat mencapai kualitas kelas dunia.
Semakin banyak perguruan tinggi kelas dunia bermunculan di Indonesia akan menjadikan bisnis pendidikan di Indonesia bahkan di Asia Tenggara (minimal) semakin bergairah. Menggairahkan masyarakat Asia Tenggara untuk berbondong-bondong ke Indonesia mencari perguruan tinggi kualitas kelas dunia. Kenapa tidak? Ini sangat mungkin terjadi! Jadikan pencapaian perguruan tinggi kelas dunia sebagai ajang kompetisi antar perguruan tinggi di Indonesia. Tentu kompetisi yang positif dan membangun. Tentu sangat diharapkan semua ini bisa terjadi.
Hampir setiap tahunnya, antara bulan Juli sampai dengan September, setiap mahasiswa baru sebuah perguruan tinggi, akan memulai kehidupan barunya di dalam dunia kampus, yang tentunya sedikit banyak akan berbeda dengan masa-masa sekolah yang telah dijalaninya. Dimulai dari adanya acara pengenalan kampus, yang terkadang dibumbui dengan acara yang sedikit berbau “penggojlogkan” (semoga katanya benar), kemudian dilanjutkan dengan pengenalan sistem perkuliahan dan sebagainya.
Sebelum memasuki dunia kampus, para mahasiswa baru tersebut tentunya memilih salah satu kampus yang akan dimasukinya dari sekian ratus bahkan ribu perguruan tinggi yang ada, dengan berbagai macam alasan pula. Ada yang memilihi berdasarkan kualitas, jurusan yang diminati, pilihan orang tua, ikut-ikut teman, citra / nama besar perguruan tinggi tersebut, bahkan ada yang memilih dikarenakan gedungnya yang bagus. Bermacam-macam sekali alasan yang dikemukakan oleh para calon mahasiswa baru tersebut, yang terkadang sering membuat kita tersenyum.
Adakah Jaminan kesuksesan di Perguraun Tinggi
Dari sisi perguruan tinggi pun, hampir sama. Mereka berlomba-lomba mencoba untuk menawarkan apa yang menjadi program dan keunggulan yang mereka miliki, kepada para calon mahasiswa. Mereka sudah terlihat seperti seorang pebisnis yang menjual apa yang menjadi produk mereka kepada calon mahasiswa. Terutama bagi sebuah perguruan tinggi baru atau sebuah perguruan tinggi yang ingin melebarkan sayapnya, mereka mengeluarkan banyak pengeluaran pemasaran demi mendapatkan para mahasiswa baru. Sudah bukan rahasia umum lagi, jika perguruan tinggi pun sudah menjadi ajang bisnis baru bagi perekonomian global.
Salah satu hal penting yang sering di jadikan faktor dalam memilih perguruan tinggi adalah apa yang saya dapatkan di perguruan tinggi dan bagaimana setelah saya lulus ? Sehingga tidak salah, banyak perguruan tinggi yang menjanjikan “sesuatu” seperti jaminan kerja bahkan jaminan kesuksesan setelah lulus dari perguruan tingginya itu. Namun kesuksesan seperti apakah yang ditawarkan ? Definisi sukses saja terkadang, tiap orang memandangnya dengan tidak sama. Bagaimana sebuah perguruan tinggi bisa menjamin kesuksesan dari setiap orang ?
Sekolah ataupun sebuah perguruan tinggi memang sudah menjadi ajang bisnis. Namun pendidikan bukanlah sekedar ajang bisnis biasa, namun merupakan ajang salah satu pencapaian cita-cita dari mahasiswanya sendiri. Mengapa mereka kuliah ? Tentu bukan sekedar ajang menimba ilmu, namun merupakan salah satu cara yang mereka anggap sebagai salah satu kunci kesuksesan. Sangatlah bahaya, apabila ternyata sebuah perguruan tinggi tersebut ternyata tidak mampu memberikan apa yang menjadi keinginan maupun cita-cita dari mahasiswanya. Kalau sebuah barang, ada isitilah garansi dengan menukarnya dengan barang baru lainnya, nah bagaimana dengan perkuliahan ? Kalau hanya sekedar membalikkan biaya yang telah dikeluarkan tentu bisa, namun apakah sebuah perguruan tinggi bisa mengganti waktu yang telah ditempuh oleh mahasiswanya ?
Sebuah perguruan tinggi yang besar dan punya nama mentereng pun, tidak bisa menjamin bahwa mahasiswanya akan sukses. Mengapa ? Bagaimana dia bisa memantau mahasiswanya jika setiap angkatan saja, perguruan tinggi tersebut menerima hampir puluhan ribu mahasiswa ? Bahkan ada dosen wali / pembimbing, yang membawahi mahasiswanya hampir ratusan orang. Mengurusi kerjaannya saja sudah setengah mati, apalagi mengurusi dan mengawasi mahasiswanya ? Apakah hanya dengan memberikan perkuliahan di kelas saja, bisa menjamin kesuksesan setiap mahasiswanya ? Tidak hanya sekedar itu, banyak faktor yang harus diperhatikan. Sebuah perguruan tinggi yang memiliki kualitas baik, bukanlah sebuah perguruan tinggi yang memiliki jumlah mahasiswa yang sangat banyak. Belum tentu jumlah mahasiswa banyak, berarti kualitasnya baik. Begitu pula sebaliknya.
Perguruan tinggi bukanlah sekedar ajang bisnis. Jangalah memperlakukan mahasiswanya sebagai komoditas bisnis, namun jadikanlah perguruan tinggi menjadi suatu bisnis yang dilakukan dengan “hati nurani”. Yang mampu memelihara, membina bahkan mendidik mahasiswanya menjadi lulusan yang punya hati. Perguruan tinggi yang baik adalah perguruan tinggi yang mampu mengakomodir / memfasilitasi, apa yang menjadi cita-cita kesuksesan dari mahasiswanya dan mampu mendidik mereka menjadi lulusan yang punya “hati nurani”, bukan hanya menjadi lulusan yang menambah jumlah pengangguran.
Jadilah perguruan tinggi yang mampu menjadi wadah bagi pengembangan cita-cita mahasiswanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar