Akhir
pekan ini saya mengobati kerinduan masa kecil dengan ‘nyantri’ ke
sebuah pesantren besar di Jawa Tengah. Dengan kelakar khas pak kyai,
kami sepakat untuk memperbaiki bagian terakhir dari ‘fiqih 3 bagian’.
Menurut pak kyai muda nan cerdas cendekia di pesantren ini, pengajaran
fiqih di pesantren-pesantren itu meliputi tiga bagian. Bagian 1 dan 2
tidak ada masalah, bagian ke 3-nya yang perlu diperbaiki. Mengapa
demikian ?
Bagian
pertama pengajaran fiqih membuat kedua belah pihak (Pak Kyai dan
santri) faham, yaitu ketika Pak Kyai mengajarkan masalah-masalah wudhlu,
sholat, memandikan jenazah dlsb. Tentu Pak Kyai sangat paham dalam hal
ini dan para santripun juga mudah dipahamkan.
Bagian
keduanya adalah Pak Kyai yang mengajarkan paham, tetapi para santri
sulit dipahamkan. Yaitu ketika Pak Kyai mengajarkan fiqih suami istri,
Pak Kyai tentu paham masalah ini selain karena ada ilmu dia juga sudah
menikah jadi tahu prakteknya. Para santri bisa belajar ilmunya tetapi
belum bisa mempraktekannya sehingga sulit untuk paham.
Nah
bagian ketiga ini yang bermasalah. Keduanya Pak Kyai dan para santrinya
sulit paham, yaitu ketika Pak Kyai mengajarkan fiqih muamalah kepada
para santrinya. Pak Kyai tentu punya ilmunya, tetapi karena rata-rata
belum mempraktekannya sehingga sulit memahami aplikasi ilmu fiqih
muamalahnya dalam realita dunia nyata. Sementara santri meskipun bisa
belajar ilmunya, pemahamannya terhalang oleh ketiadaan praktek lapangan.
Penguasaan
bagian ketiga yaitu fiqih muamalah sampai prakteknya di lapangan ini
yang perlu perhatian dan perbaikan karena inilah yang sangat banyak
dibutuhkan di masyarakat kini. Terjadinya banyak kecurangan di pasar,
ketimpangan ekonomi, korupsi, perusakan sumber daya alam atas nama untuk
mengejar pertumbuhan ekonomi, penjajahan ekonomi kapitalis di
negara-negara berpenduduk mayoritas muslim dlsb. antara lain adalah
karena para ulama yang berilmu kurang menguasai praktek lapangannya.
Para
ulama lulusan pesantren rata-rata mereka hafal sebagian besar atau
bahkan seluruh ayat-ayat Al-Qur’an dan sejumlah besar hadits. Di antara
ayat-ayat dan hadits yang dihafal tersebut sesungguhnya bisa menjadi
jawaban atas segala problem yang ada di masyarakat, tetapi karena
kurangnya praktek lapangan – maka ketika muncul masalah – jawaban itu
seperti terkubur jerami alias sulit dikeluarkan.
Ketika
para penguasa tidak bisa menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada
di masyarakat atau bahkan sebagian dari kebijakannya justru menimbulkan
masalah di masyarakat – seharusnya para ulama mampu mengingatkan mereka
dengan nasihat yang solutif, atau bahkan mencegah mereka dari membuat
kebijakan yang merugikan masyarakat.
Di
jaman Ibnu Taimiyah misalnya, beliau mampu mengingatkan penguasa saat
itu agar tidak membuat kebijakan moneter yang merugikan rakyat dengan
mencetak fulus (uang diluar emas dan perak) melebihi kebutuhan transaksi dari negeri yang dalam kekuasaan pemimpin yang ada waktu itu.
Lantas siapa ulama sekarang yang bisa mengingatkan pemerintah agar
tidak membuat kebijakan moneter yang menimbulkan inflasi yang merugikan
rakyat ? atau kebijakan yang membuat ekonomi biaya tinggi ?, harga
pangan mahal ?, sebagian komoditi pangan harus diimpor ?, petani dalam
negeri harus head-to- head bersaing dengan industri pertanian raksasa negara maju, kerusakan lingkungan dlsb-dlsb ?
Ulama-ulama
sekarang bisa jadi beranggapan bahwa urusan tersebut kini adalah urusan
‘para-ahli’nya yaitu pemerintah dan para ahli ekonomi. Tetapi
masalahnya adalah ketika pemerintah dan para ahli ekonomi tersebut tidak
menggunakan rujukan yang adil – untuk kemaslahatan umat yang lebih luas
dalam jangka panjang – maka tidak ada lagi yang mengingatkan
mereka-mereka ini.
Disinilah
relevansinya meniru dakwah para wali dahulu yang telah membuat dakwah
mereka mudah meluas dan merasuk kedalam hati masyarakat. Dakwah bil-haal mereka – yaitu dakwah yang mengedepankan perbuatan nyata - menyelesaikan problem-problem masyarakat pada jamannya.
Contoh dakwah bil-haal para wali ini diungkapkan dengan bahasa sederhana sebagai berikut :
Wong kang ngelak ombenono…
Wong kang udo klambenono…
Wong kang kudanan payungono…
…..
Makna
terjemahan bebasnya kurang lebih adalah memberi minum orang yang
kehausan (memberi makan orang yang lapar), memberi pakaian orang yang
telanjang (tidak mampu membeli baju), memayungi orang yang kehujanan
(membangun rumah untuk orang yang tidak punya rumah) dlsb. Intinya
adalah problem solving dari masalah-masalah yang ada di masyarakat.
Bila
para ulama dan juru dakwah di jaman ini bisa (membantu) menyelesaikan
masalah-masalah yang ada di masyarakat, sambil tentu saja terus
membangun keimanan dan ketakwaan masyarakat – maka insyaAllah gerakan
dakwah ini juga akan bisa mengikuti jejak para wali yang telah ikut
berperan menyampaikan iman dan Islam hingga sampai kita yang hidup di
jaman ini. Alhamdulillah…
Details
Tidak ada komentar:
Posting Komentar