Laman

Jumat, 14 Januari 2011

Peluang & resiko bisnis SPBU

Persaingan Bisnis SPBU
Persaingan bisnis SPBU akan semakin ketat dan atraktif. Apalagi makin banyak pemain dari luar yang masuk dan beroperasi di Indonesia. Kendati akhir-akhir ini BBM mengalami masalah di negeri ini, perusahaan penyuplai BBM ini, terus tumbuh setiap tahun. Pertumbuhannya sangat pesat, seiring dengan bertambahnya jumlah kendaraan bermotor yang terus meningkat setiap tahun.

Selain itu, kebutuhan industri pun juga sangat tinggi. ''Kebutuhan BBM di Indonesia untuk jenis premium mencapai 56 ribu kiloliter (kl) per hari, dan untuk jenis disel mencapai 70 ribu kiloliter per hari,'' kata Toharso, general manager Humas PT Pertamina, kepada Republika, Selasa (30/1) di Jakarta.
Sepanjang tahun 2004, kebutuhan masyarakat Indonesia terhadap BBM mencapai 64,4 miliar liter. Dari jumlah itu, kebutuhan untuk transportasi (ritel) dan industri cukup berimbang. ''Kebutuhan ritel mencapai 34,3 miliar liter dan komersial sebesar 30 miliar liter,'' kata Fathia Syarif, manager Komunikasi Perusahaan, Shell Companies in Indonesia, kepada Republika.
Besarnya kebutuhan masyarakat Indonesia akan BBM ini, membuat perusahaan asing tertarik untuk menanamkan investasinya di Indonesia dan mencoba bersaing memperebutkan kue yang ada.
Di Indonesia, pasar BBM dikuasai oleh Pertamina. Jumlah Stasiun Pengisian Bahan bakar Umum (SPBU) Pertamina mencapai lebih dari 3.600 buah. Sementara itu, perusahaan asing lain yang saat ini sudah beroperasi di Indonesia adalah Royal Ducth Shell (berpusat di Belanda) dan Petroliam Nasional Berhad (Petronas) asal Malaysia.
Saat ini, Shell telah membuka lima SPBU di Indonesia. Yakni, di Lippo Karawaci (Tangerang), Buncit (Mampang Prapatan), Jalan Gatot Soebroto, Jalan Soeprapto dan Jalan S Parman (Jakarta). Shell menjual produk bahan bakar seperti Shell Super Extra, Shell Super dan Shell Diesel.
Sementara itu, Petronas telah memiliki empat SPBU, yakni di Cibubur (Jaktim), Lenteng Agung (Jaksel), Pekayon (Bekasi), Cikokol (Tangerang). BBM yang ditawarkan berupa Primax 92, Primax 95 dan Diesel.
Selain Shell dan Petronas, kabarnya, perusahaan minyak raksasa asal Perancis, Total, juga berencana menanamkan investasinya di Indonesia dan siap merebut hati masyarakat Indonesia. Total berencana membangun enam SPBU di Jakarta. Januari lalu, Presiden Direktur Total, Thierry Desmarest seusai bertemu dengan Presiden SBY mengatakan, pihak Total sangat tertarik dengan prospek bisnis SPBU di Indonesia. Karena itu, pihaknya telah menambah investasi sebesar enam juta dolar AS di Indonesia selama lima tahun, yang digunakan untuk eksplorasi sumber minyak dan gas baru.
Kabarnya, Total saat ini juga sedang melanjutkan negosiasi dengan Pertamina untuk menambah produksi gas untuk domestik dan ekspor. Saat dimintai tanggapannya mengenai kehadiran sejumlah perusahaan asing dalam bisnis SPBU ini, Toharso mengatakan, hal justru makin membuat Pertamina diuntungkan. Selain itu, tentu saja, konsumen pula yang senang.
''Pertamina melihat, hadirnya para pesaing dalam bisnis SPBU ini akan makin membuat Pertamina tambah kuat. Kenapa? Karena Pertamina akan semakin mempercepat proses transformasi dalam segala bidang, mulai dari layanan, sistem informasi hingga kinerja operator,'' paparnya.
Apalagi, lanjutnya, sebagai pemain yang sudah lama berkiprah dalam bisnis ini dan merupakan pemain dengan pangsa pasar terbesar, Pertamina memiliki jaringan infrastruktur yang sangat luas.
Layanan Terbaik
Toharso menilai, saat ini dan di masa depan, persaingan bisnis SPBU semakin ketat dan atraktif. Sebab, lanjutnya, bukan saja masing-masing perusahaan akan pure (murni) berbisnis BBM, melainkan juga akan merambah fasilitas lainnya.
Hal itu juga diungkapkan Media Relation Petronas Niaga Indonesia, Bayu Anggraeni. ''Persaingan yang sangat ketat, harus diimbangi dengan strategi yang baik. Bisnis SPBU tidak hanya sekedar menjual BBM, tetapi juga layanan servis yang baik dan kemudahan akses serta fasilitas bagi konsumen, seperti minimarket, laundry, mushalla dan lainnya. Karena itu, Petronas membuat SPBU berkonsep one stop shopping (layanan satu atap),'' kata Bayu kepada Republika.
Petronas, ungkapnya, berencana terus melakukan ekspansi dan melebarkan sayapnya dengan menambah SPBU di sejumlah daerah. ''Kami berharap, tahun 2007 ini bisa menambah SPBU Petronas antara 40-50 unit,'' jelasnya.
Persaingan di bisnis ini memang sangat ketat. Apalagi, masing-masing perusahaan berupaya memberikan layanan terbaik bagi konsumennya. Bila Petronas mengembangkan konsep one stop shopping, Pertamina membuat konsep Pertamina Way.
Konsep SPBU Pertamina Way mengandalkan lima kaidah, yaitu aspek mutu dan jumlah (kualitas bagus dan takaran tepat), aspek SDM dan operator yang selalu menerapkan 3S (Salam, Senyum, Sapa). Kemudian aspek keamanan (ada petugas keamanan/satpam); lalu aspek fasilitas (mushalla, cafe, dan toilet); dan aspek servis pelayanan secara umum (menyangkut hak-hak konsumen). ''Kami akan terus menambah SPBU Pertamina Way. Tahun ini, sedikitnya kami membuat 150 SPBU Pertamina Way se-Jabodetabek atau 300 SPBU di seluruh Indonesia,'' ungkap Toharso.
Saat ini Pertamina memiliki lebih dari 3.600 unit SPBU di seluruh Indonesia. Dalam mengembangkan jaringan SPBU, kata Toharso, Pertamina memiliki tiga jaringan, yaitu Coco (Company on Company Operated) -- Pertamina yang bertindak sebagai operator dan agen -- Codo (Company on Dealer Operated) -- Pertamina sebagai operator dan diler sebagai agen,-- dan jaringan Dodo (Dealer on dealer Operated) --diler yang bertindak sebagai operator dan agen.
Sementara itu, Shell mengedepankan konsep QQS (Quality, Quantity and Service). Kualitas terbaik, dengan kuantitas (jumlah) yang tepat dan akurat serta layanan yang memuaskan konsumen. ''QQS ini merupakan tiga pilar yang dikembangkan Shell. Dan Shell akan terus konsisten menerapkan konsep ini tidak hanya sekadar kata-kata. Selama ini, karyawan Shell juga terus melayani konsumen dengan sikap yang santun, sopan dan menyenangkan hati konsumen,'' ungkap Fathia.
Pengusaha SPBU Ogah Rugi!

Pengusaha SPBU ogah rugi!. Demikian kira-kira ungkapan yang muncul di beberapa media pada awal Desember 2008 kemarin. Pemberitaan miring mengenai franchisee Pertamina ini muncul seiring dengan keputusan pemerintah melalui Pertamina untuk menurunkan harga BBM bersubsidi (Premium) sebesar Rp. 500,- sehingga harga Premium menjadi Rp. 5.500,-. Pengusaha SPBU bertindak tidak professional dengan mengurangi pemesanan Premium pada beberapa hari sebelum tanggal efektif keputusan tersebut. Dengan demikian, mereka mengurangi kerugian akibat proses jual rugi; yakni membeli stok premium dengan harga lama (Rp. 6.000,-) namun dijual dengan harga baru. Bagi pengusaha sektor retail lainnya, praktik bisnis seperti ini mungkin sah-sah saja terlebih dalam situasi krisis financial seperti sekarang ini. Namun, SPBU (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum) sebagai jalur distribusi BBM adalah bisnis yang menyangkut kepentingan orang banyak yang harus mengutamakan prinsip layanan terhadap masyarakat (public service obligation).

Pertanyannya, bagaimana hubungan supply chain antara Pertamina Hilir dan SPBU ini dioptimalkan sehingga kejadian stok habis tidak terulang lagi? Terlebih lagi, pada awal 2009 nanti penetapan harga jual BBM (tidak hanya Pertamax, namun juga Premium dan Solar) akan mengikuti mekanisme harga pasar yang tentunya memperbesar uncertainty (demand uncertainty) bagi pengusaha SPBU. Apa langkah yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi hal tersebut?

Inventory Planning SPBU

Terlepas dari intense atau niatan buruk dari beberapa oknum pengusaha SPBU, kasus stok habis di beberapa daerah pada dasarnya merupakan persoalan inventory planning dan supply chain planning and control. Dalam Operations Management, kedua konsep diatas merupakan usaha untuk mengurangi ketidakpastian dalam bisnis dan sebagai media untuk mencapai tujuan bisnis; yakni memberikan value bagi pelanggan. Dalam konteks bisnis SPBU, value yang diberikan kepada pelanggan adalah ketersediaan BBM sesuai kualitas yang ditetapkan oleh Pertamina dengan takaran yang tepat pula sesuai program “Pasti Pas”. Selain ketersediaan (availability), aspek kualitas dan ketepatan takaran juga merupakan aspek yang sedang hangat diperbincangkan dan akan dibahas pada kesempatan lain. Terlebih lagi, keputusan untuk merubah harga jual BBM dari fixed menjadi floating menambah faktor ketidakpastian tersebut. Artikel ini memfokuskan pembahasan pada aspek ketersediaan terkait dengan adanya ketidakpastian akibat perubahan harga diluar kompetisi dengan retailer swasta. Mengikuti logika ekonomi, pada saat harga naik maka permintaan akan BBM juga berkurang; demikian pula sebaliknya. Pada masa lalu, fenomena ini muncul setiap ada perubahan penetapan harga. Pada saat BBM bersubsidi naik dari Rp. 4.500,- menjadi Rp. 6.000,- pada awal 2008, antrean kendaraan marak terjadi di hamper setiap SPBU menjelang hari kenaikan harga. Konsumen ingin menikmati harga lama semaksimal mungkin dengan mengisi penuh tanki bahan bakar; meskipun hal ini berlangsung beberapa hari saja. Sebaliknya, ketika kali ini harga diturunkan; giliran pengusaha melakukan hal tidak terpuji yang mengakibatkan Pertamina mengurangi kiriman BBM akibat prediksi demand yang (seolah-olah) turun. Dapat Anda bayangkan apa yang terjadi jika perubahan ini berlangsung dalam frekuensi yang lebih tinggi dan tidak terprediksi. Laju roda ekonomi akan terhambat akibat isu transportasi yang berkepanjangan.

Setiap SPBU perlu memiliki safety stock level yang dikontrol oleh Pertamina sebagai franchisor berdasarkan moving average demand yang dihitung dari historical data penjualan BBM. Safety stock level ini merupakan inventory cost yang akan dikompensasi dengan besaran margin penjualan BBM. Dengan sinergi ini, Pertamina mencapai tujuannya untuk memberikan public service obligations melalui availability BBM yang konsisten melalui jaringan franchise SPBU-nya. Sebaliknya, resiko bisnis pengusaha SPBU akibat demand uncertainty menjadi lebih terukur melalui indikator safety stock level. Inventory cost yang dibebankan tersebut diperhitungkan dari holding cost dan ordering cost.

Holding cost merupakan biaya yang muncul karena menetapkan level inventory tertentu yang ditentukan oleh besarnya safety level stock, biaya penyimpanan, opportunity cost, pengurangan stock-out cost, fluktuasi permintaan BBM, dsb. Diskusi holding cost akan semakin menarik karena setiap SPBU menjual beberapa jenis BBM (Solar, Premium, Pertamax, BioSolar, dst) yang masing-masing memiliki pola penjualan yang berbeda yang tentunya memiliki safety level stock yang berbeda pula. Sedangkan ordering cost, merupakan biaya pemesanan terkait dengan pemeliharaan safety stock level; dan bukannya seluruh biaya ordering cost. Besarnya akan tergantung dari persentase safety stock level terhadap total inventory total. Ordering cost muncul dari biaya komunikasi, biaya modal, biaya system pembayaran, dan biaya sumber daya manusia yang tergantung dari frekuensi dan lead time pemesanan. Oleh karena itu, Pertamina dan SPBU perlu mendiskusikan Inventory Control System yang digunakan; memilih Q-System atau P-System berdasarkan faktor lokasi SPBU, kepraktisan, dan keamanan.

Supply Chain Planning and Control

Bagi Pertamina, persoalan ini merupakan persoalan manajemen supply chain; khususnya dari sisi distribusi. Kunci sukses Pertamina dalam hal ini adalah mendapatkan forecast demand yang presisi sehingga cukup akurat untuk mengukur kebutuhan produk BBM yang harus dipasok kepada SPBU sebagai retailer dan mendesain jalur distribusi yang tepat sehingga distribusi produk BBM sampai tepat jumlah dan tepat waktu. Untuk itu, data moving average demand dari masing-masing SPBU perlu dikumpulkan sedini mungkin sehingga demand forecast dapat ditetapkan yang selanjutnya menjadi patokan penyusunan production forecast. Sesudah mengintegrasikan lead time dari faktor supplier dan faktor produksi, Pertamina dapat menyusun distribution schedule kepada masing-masing SPBU untuk menjamin availability produk BBM bagi publik.

Aspek yang tak kalah perlu diperhatikan adalah kontrol terhadap pengusaha SPBU yang melanggar ketentuan kemitraan yang ditetapkan. Tindakan tegas perlu diberikan agar mekanisme yang sudah direncanakan berjalan lancar dan tidak mengganggu jalur distribusi yang lain. Demikian pula terhadap SPBU yang lain, perlu diawasi sehingga tidak ada peluang untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan pelanggan pada umumnya, dan Pertamina pada khususnya. Menjamin availability produk BBM bukan pekerjaan mudah, terlebih melibatkan daerah distribusi yang cukup luas dengan tingkat kesulitan daya jelajah yang cukup tinggi pada daerah tertentu. Suatu langkah taktis yang dapat dijalankan pada daerah distribusi tertentu, belum tentu dapat pula diterapkan pada daerah distribusi yang lain. Terlebih lagi, distribusi ini melibatkan pihak eksternal (franchisee) yang tentunya memerlukan strategi khusus untuk menjalankannya. Jantung picunya adalah komitmen untuk memenuhi janji menjamin pasokan BBM domestik demi pertumbuhan ekonomi dalam negeri. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar